Setiap tahun kita memuja IPM dengan deretan angka, tetapi sering lupa pada sosok yang membuat angka itu bernyawa. Ia adalah guru, manusia penggerak kecerdasan bangsa yang terus bekerja, bahkan ketika pelumasnya dihemat negara.
Indonesia boleh berbicara tentang pembangunan manusia, tentang daya saing global, tentang bonus demografi, atau tentang generasi emas 2045. Tetapi semua ambisi itu runtuh bila kita mengabaikan orang-orang yang berada di ruang kelas, berhadapan langsung dengan masa depan. Mereka bukan hanya pengajar yang menuntaskan kurikulum, tetapi pembentuk karakter, penanam harapan, sekaligus penjaga tujuan konstitusional, mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dalam hitungan statistik, pendidikan hanyalah satu dari tiga komponen pembentuk Indeks Pembangunan Manusia. Namun dalam kehidupan nyata, pendidikan adalah pengungkit utama yang menentukan apakah seorang anak dapat keluar dari lingkar kemiskinan, apakah ia punya keberanian bermimpi, atau sekadar mampu memahami dunia yang berubah begitu cepat. Dan pendidikan tidak pernah berjalan sendirian. Ia hidup karena ada guru di dalamnya.
Ironisnya, guru sering ditempatkan di garis depan pembangunan tanpa diberikan perisai yang layak. Mereka dibebani administrasi yang menggunung, diminta menyesuaikan diri dengan kurikulum yang kerap berubah, diberi pelatihan yang lebih seremonial ketimbang substantif, dan dipaksa mengikuti uji kompetensi di tengah fasilitas sekolah yang timpang. Semua dilakukan seolah-olah mutu pendidikan bisa melonjak hanya dengan menambah daftar kewajiban di atas pundak mereka.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam kondisi seperti itu, bangsa ini masih berharap guru mampu mencetak manusia-manusia unggul yang dapat mendongkrak IPM.
Padahal peningkatan IPM bukan sekadar urusan anggaran atau grafik yang menanjak. Ia lahir dari interaksi harian antara guru dan murid. Setiap kali seorang guru berhasil menjaga muridnya tetap bersekolah, angka harapan lama sekolah meningkat. Setiap kali kelas dikelola dengan disiplin dan kasih, kualitas belajar tumbuh. Setiap kali guru memiliki kesejahteraan dan kapasitas yang memadai, motivasi mengajar ikut melonjak, dan efeknya merembes ke seluruh struktur pembangunan manusia.
Negara sering meminta guru untuk bekerja lebih keras, tetapi jarang bertanya apakah sistemnya bekerja untuk mereka. Kita ingin pendidikan bermutu, tetapi masih menganggap wajar bila guru membeli kapur sendiri. Kita ingin IPM naik, tetapi tak merasa janggal ketika guru honorer hidup dengan pendapatan yang tak memenuhi standar hidup layak. Kita ingin bangsa cerdas, tetapi percaya kecerdasan bisa lahir tanpa memperkuat orang-orang yang setiap hari mengajarkannya.
Hari Guru seharusnya menjadi ruang refleksi yang lebih serius apakah negara sungguh-sungguh memenuhi janji konstitusinya, atau hanya mengulang kata “mencerdaskan” tanpa menyediakan ekosistem yang mencerdaskan para guru itu sendiri?
Jika negeri ini ingin manusia yang lebih kompeten, lebih sehat, lebih produktif, bukan sekadar angka IPM yang lebih tinggi, maka langkahnya jelas yakni perkuat guru. Beri mereka waktu mengajar, bukan tumpukan birokrasi. Beri pelatihan yang benar-benar menambah kapasitas, bukan menambah beban. Beri penghargaan yang setimpal, bukan sekadar seremoni tahunan atau uji kompetensi yang membuat mereka seakan-akan tak pernah cukup layak.
Masa depan bangsa tidak dibangun oleh mesin-mesin besar, tidak juga oleh tumpukan program di kantor dinas. Ia dibangun oleh guru-guru yang berdiri di depan papan tulis, di hadapan anak-anak yang masih mencari arah, di tengah tuntutan zaman yang terus bergeser.
Guru adalah cahaya yang menyalakan kecerdasan bangsa, walaupun sering bekerja dalam bayang-bayang.
Selamat Hari Guru. Semoga negara bukan hanya mengucapkan terima kasih, tetapi benar-benar menopang mereka yang selama ini menopang kita semua.***








