Di zaman serba sulit seperti sekarang, raja itu harus punya mental baja, bukan mental balon.
Lampung Barat (Netizenku.com): Karena kalau tiap keputusan menunggu disukai semua orang, jangan-jangan sampai akhir jabatan yang disukai cuma foto profilnya.
Padahal, raja sejati itu kadang memang harus berani tidak populer.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dicibir sedikit? Biasa.
Dihujat sedikit? Anggap vitamin.
Yang penting negeri jalan, warga hidup, dapur ngebul, bukan cuma baliho yang subur.
Tahun 2026 itu bukan waktunya raja rebahan sambil menunggu keajaiban turun dari langit.
Ini waktunya raja bangun pagi, minum kopi pahit, lalu mikir keras.
Kalau negeri mau maju, jangan cuma muter-muter di halaman sendiri.
Raja harus berani main jauh.
Ke Jakarta, misalnya.
Bukan buat pamer batik atau swafoto di lobi hotel, tapi buat nyari peluang.
Datang ke pengusaha, jangan cuma bilang, “Pak, mohon bantuannya”.
Tapi tanya yang benar, “Gimana caranya industri mau masuk ke negeri kami?”
Masuk ke kementerian juga jangan cuma bawa proposal tebal tapi kosong makna.
Cari program mereka, cocokin sama kebutuhan negeri.
Infrastruktur? Gas.
Padat karya? Ayo.
Yang penting warga punya kerja, bukan cuma punya harapan.
Masalahnya, banyak raja itu rajin kumpul, tapi salah pilih teman diskusi.
Isinya orang-orang yang hobinya bikin sensasi, yang kalau bicara keras, tapi kalau ditanya solusi langsung sunyi senyap.
Raja harus sering diskusi sama orang yang punya kompetensi.
Yang kalau ngomong mungkin nggak viral, tapi kalau kerja, hasilnya kelihatan.
Karena maju mundurnya tanah kelahiran itu ada di tangan raja.
Ini bukan main-main.
Amanah rakyat itu bukan aksesori, bukan buat dipajang waktu kampanye doang.
Ingat, raja duduk di singgasana bukan karena silsilah, bukan karena mimpi semalam, tapi karena rakyat yang rela antre, nyoblos, dan berharap.
Raja juga jangan kaku kayak tiang listrik.
Kepemimpinan itu perlu energi.
Energi itu nggak datang dari satu arah.
Harus diserap dari berbagai mata angin.
Pergaulan diperluas, jangan itu-itu saja.
Ajak diskusi orang-orang yang beda pandangan, yang kadang nyebelin, tapi justru bikin mikir.
Dan soal loyalis, ini sering salah kaprah.
Loyalis sejati itu bukan yang tiap hari bilang, “Raja selalu benar”.
Itu mah kipas angin.
Loyalis sejati itu yang berani bilang,
“Raja, ini kebijakan kayaknya perlu diperbaiki.”
Karena mereka dukung raja bukan karena pengen dapat jatah, tapi karena pengen negeri makin maju.
Nah, urusan memilih para pembantu raja juga jangan asal comot.
Kalau dasar pemilihannya cuma koneksi, relasi, dan amunisi, ya jangan berharap banyak.
Mau marah juga susah, mau nuntut juga canggung.
Tapi kalau pengangkatan berdasarkan kompetensi, ceritanya beda.
Gagal? Pecat tanpa drama.
Berhasil? Reward tanpa iri.
Simpel sebenarnya.
Raja kerja, rakyat lihat.
Rakyat lihat, rakyat nilai.
Dan sejarah selalu jujur mencatat, mana raja yang sibuk pencitraan, mana raja yang benar-benar memimpin.
Karena pada akhirnya, raja yang hebat itu bukan yang paling sering dielu-elukan, tapi yang paling berani ambil risiko demi negeri.
Dan rakyat, walaupun sering diam, sebenarnya paling paham siapa yang kerja, dan siapa yang cuma kelihatan sibuk. (*)








