Bandarlampung (Netizenku.com): Yapeka (Pemberdayaan Masyarakat dan Pendidikan Konservasi Alam) melalui Program Tropical Forest Conservation Action (TFCA) Sumatera memberikan pelatihan dan pendampingan bagi masyarakat desa penyangga Taman Nasional Way Kambas (TNWK) Kabupaten Lampung Timur.
Pemberdayaan masyarakat desa penyangga TNWK ini merupakan upaya untuk mencegah masyarakat melakukan kegiatan atau aktifitas yang dapat merusak lingkungan atau hutan taman nasional.
Salah satu warga Desa Labuhanratu VI di Kecamatan Labuhanratu, Bambang Sumantri memilih untuk berhenti beraktifitas di TNWK setelah dirinya sukses menjadi pengusaha pupuk kompos.
Sebelumnya, pria yang lahir 32 tahun silam ini selalu menghabiskan waktu di TNWK untuk memancing ikan.
\”Biasanya kita berangkat rombongan setiap hari Minggu atau waktu senggang, paling sedikit 5 orang bersama teman-teman,\” kata Bambang saat ditemui di Demplot Rumah Kompos Desa Labuhanratu VI, Selasa (22/12).
Ketua Kelompok Karya Lestari ini mengaku memancing ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
\”Dapatnya paling banyak hanya 1 Kg, enggak bisa banyak-banyak, tergantung cuaca juga. Kalau sedikit kita konsumsi sendiri dan kalau banyak kita jual,\” ujar dia.
Bambang merasa was-was setiap kali memancing di sungai kawasan konservasi sehingga dia dan rombongannya selalu berangkat ketika hari mulai gelap dan pulang dalam keadaan hari masih gelap juga.
\”Selama memancing di TNWK, alhamdulilah saya belum pernah tertangkap. Tapi setelah ada usaha ini (pupuk kompos), kita tidak ada waktu lagi memancing ke hutan. Saya lebih bebas dari kekangan dan bisa mengatur waktu sendiri, karena sekarang lebih ketat lagi di dalam (TNWK),\” katanya.
Kelompok Karya Lestari mulai membuat pupuk kompos dari kotoran sapi sejak 2018 lalu dengan kapasitas produksi 8-12 ton pertiga bulan.
\”Hampir 50 persen penduduk di sini memelihara sapi sehingga ada banyak potensi, makanya kita membeli kotoran sapi dari mereka,\” ujar Bambang.
Warga mengantar sendiri kotoran sapi mereka dengan biaya pengiriman ditanggung oleh Karya Lestari. Dengan menggunakan mobil bak terbuka yang dimodifikasi, warga setempat menyebutnya \’grandong\’ kendaraan khusus ke ladang, kotoran sapi 3-4 ton dibeli dengan harga Rp400.000.
\”Tapi setelah difermentasi hanya tinggal setengahnya saja, karena saat dibawa kemari kotoran sapi dalam keadaan basah,\” katanya.
Pengumpulan bahan kompos ini memakan waktu selama satu pekan setelah sebelumnya disurvei selama 3 hari. Tahapan selanjutnya penumpukan kompos dengan masa proses 2 bulan, kemudian dilakukan pembalikan 1-4 sekali seminggu.
Kemudian pengeringan kompos 2-3 pekan, dan proses pengayakan serta packing satu hari.
\”Awalnya kita terkendala proses pengomposan serta pengemasan. Pupuk tidak jadi karena mengeras,\” ujarnya.
Pada proses produksi yang kedua sebanyak 12 ton, Bambang mulai mengemas kompos dengan karung dilapisi plastik sehingga pupuknya tidak keras dan beku. Pupuk yang diproduksi juga mulai diberi label Karya Lestari yang disablon sendiri.
Namun pada tahap kedua ini dirinya mengalami kendala dalam pemasaran hingga akhirnya produksi diturunkan kembali menjadi 8 ton.
\”Kami mulai melakukan survei ke pasar-pasar yang kami awali di Pekalongan, kami mencoba menawarkan pupuk yang kami produksi. Alhamdulilah ada yang mau tapi mereka minta proses pengemasan dan label yang lebih bagus,\” katanya.
Saat ini, Kelompok Karya Lestari mulai melayani pembelian kompos dari luar daerah seperti Kota Bandarlampung dan Kabupaten Tulang Bawang, baik reseller maupun untuk dipakai sendiri.
\”Untuk reseller, setelah diproses, pupuk kita bungkus dalam kemasan tanpa label seberat 4 Kg, dengan harga perbungkus Rp7.500 sudah termasuk ongkos kirim,\” ujarnya.
Awalnya, pemesan reseller tidak ingin kemasan kompos diberi label Karya Lestari karena tidak ingin pembelinya tahu sumber pupuk darimana.
\”Tapi saya minta dengan tegas ada logo saya di situ, Karya Lestari. Meskipun kecil dan tanpa alamat, dan informasinya pembeli yang paling banyak justru dari daerah sini (Lampung Timur) Jepara,\” kata dia.
Di bulan Desember ini, Karya Lestari melayani order reseller dari Tulang Bawang; cocopeat 10 sak, sekam bekas 11 sak, kompos besar 2 sak (@30kg), kompos kecil 1 sak (@10kg).
Bandarlampung; media tanam 10 sak, sekam bekas 10 sak, kompos kecil 10 sak, cocopeat 10 sak, sekam fermentasi 10 sak, media tanam 30 sak.
Kemudian untuk pemakaian sendiri, order konsumen dari Labuhanratu Induk pupuk kompos curah 1 ton, Sukorahayu media tanam 100 sak.
Dengan ongkos produksi pupuk 4 ton hanya Rp900 ribu, Bambang menjual kompos curah 1 ton senilai Rp1 juta. Empat ton kotoran sapi setelah diproses mampu menghasilkan 2,5-2,7 ton pupuk kompos.
\”Untuk reseller tidak ada batas pemesanan, tapi karena ongkos kirim kita yang tanggung, mereka biasanya memesan 50-100 sak. Masyarakat juga ada yang langsung beli ke sini dan kita beri harga khusus Rp7.000. Di luar itu kita patok harga Rp8.000,\” ujarnya.
Selain pupuk kompos, Kelompok Karya Lestari juga melakukan inovasi dengan menghasilkan media tanam seperti cocopeat, sekam bakar, dan sekam fermentasi.
\”Kita didampingi Yapeka lewat Program TFCA Sumatera mendapatkan pelatihan serta melakukan inovasi-inovasi secara bersama sejak 2018 lalu,\” kata Bambang.
Keenam desa penyangga di Kecamatan Labuhanratu yang mendapatkan pendampingan adalah Labuhanratu 6, Labuhanratu 7, Labuhanratu 9, Braja Yekti, Sukorahayu, dan Braja Luhur.
\”Setiap desa memiliki satu kelompok dengan pekerja 7 orang, biasanya ibu-ibu secara bergantian, jadi tidak fokus yang itu-itu saja,\” tutup dia. (Josua)