Lebih baik minta maaf daripada minta izin. Demikian prinsip kebanyakan suami yang memiliki hobi. Tapi pameo semacam itu tidak berlaku bagi Topan.
Bandarlampung (Netizenku.com): PILIHAN sikap serupa itu bukan lantaran Topan tak gentar pada “polisi dapur”, sebutannya untuk sang nyonya. Melainkan karena ada pengaruh religius yang diperoleh dari koleksi ratusan batu akiknya. Sebentuk pengalaman batin yang tak tergantikan.
Semua berawal dari suara deru mesin gerinda yang melengking lalu senyap dan sebentar kemudian menjerit lagi. Pola berulang yang seakan membentuk ritmis ini sudah menjadi menu keseharian bagi Topan.
Seperti pemilik nama lengkap Topan Indra Karsa ini, warga sekitar tempat tinggalnya di Durian Payung juga tidak merasa terganggu oleh bunyi gerinda itu. Mungkin sudah terlanjur menganggapnya sebagai bagian yang menyatu. Atau diam-diam malah ikut menikmati ritmenya. Mirip lagu dangdut hits yang diputar keras disiang bolong. Meski memekakkan telinga tapi tak rela bila dihentikan.
Atau mungkin suasana pada 1987-an itu belum terlalu hiruk pikuk seperti sekarang. Sehingga putaran mata gerinda yang menghasilkan dengung ketika menggesek permukaan sebuah benda, tidak dianggap sebagai sesuatu yang kelewat berisik.
Topan, yang masih remaja kelas 2 SMA, justru acapkali mendatangi dan berlama-lama di dekat sumber suara itu. Belakangan dia malah sering kedapatan menghabiskan waktu sepulang sekolahnya di sana. Ya, di rumah tetangga yang membuka usaha asah batu akik.
Biarpun bukan orang Jawa, kiranya pribahasa Witing tresno jalaran soko kulino yang kurang lebih bermakna “cinta hadir karena terbiasa” telah menjalar ke alam pikir Topan. Dia yang awalnya sekadar ingin tahu cara mengasah batu, lama-kelamaan mulai tertarik dengan keindahan batu cincin yang rampung diasah. Selanjutnya kepincut dan mulai terdorong untuk memiliki.
Untung gayung bersambut. Pengasah batu yang tiada lain tetangganya itu, tidak keberatan menukar sebuah batu dengan uang Topan yang tidak seberapa jumlahnya. Uang itu hasil dari menyisihkan duit saku sekolah selama berhari-hari. “Sejak itu saya jatuh hati pada batu cincin,” kisah DR. Topan Indra Karsa, SH, MH. yang kesehariannya sebagai akademisi hukum di Universitas Tulang Bawang (UTB) ini, saat bertandang ke kantor redaksi, Jumat (17/1/2025).

Topan tidak sendiri. Di masa itu remaja pria sebayanya memang sedang gandrung batu cincin. Tak heran ketika berkumpul di tongkrongan, mereka saling unjuk kelebihan batu cincin yang dikenakan. Tapi ibarat rotasi sang surya yang tenggelam dikala senja, seiring waktu era batu cincin juga ikut meredup.
Sampai akhirnya batu-batu cincin yang disayang-sayang diloloskan dari jemari untuk kemudian berpindah tangan. Dilego. Kecenderungan serupa juga berlaku pada kawan-kawan Topan. Hingga tersisa dia sendiri yang masih tetap setia pada batu cincin tambatan hati. Setia tanpa akhir, terus berlangsung hingga kini, sejak pertama dia mendengar dengungan gerinda pengasah batu milik tetangganya puluhan tahun silam.
“Bukannya bosan, saya malah makin kepincut sama batu cincin,” imbuhnya. Kalau dimasa muda untuk menyalurkan hobi Topan hanya membeli satu atau dua batu cincin, seiring waktu target yang disasar dan pola pembelian jadi berubah. Dia tidak lagi mengarah pada batu cincin, melainkan justru memburu batu bahan yang masih berupa bongkahan. Sekali beli main borong.
“Pernah beli bahan langsung lima ember. Pernah juga sekali angkut batu sampai setengah mobil bak terbuka. Waktu booming batu tempo hari, saya pernah beli bahan satu truk,” kata Topan.
Bahan batu itu lalu ditumpuk di pekarangan rumah. Ketika ada waktu luang, atau acapkali malah curi-curi kesempatan bahkan di tengah kesibukannya, Topan masih menyempatkan diri untuk berkutat dengan harta karunnya itu. “Entah kenapa, kadang cuma melihat-lihat tumpukkan batu aja saya sudah merasa puas,” kenangnya.
Kalau ada bahan batu cincin yang dianggap bagus, tak menunggu lama, Topan bakal langsung membawanya ke pengasah batu langganan. “Ahli gosok batu memang banyak di Bandarlampung. Tapi saya ada satu langganan,” terangnya.

Untuk urusan mengasah batu, Topan menganggap tidak boleh gegabah memilih juru asah. Sebab, bila salah orang apalagi belum memiliki “jam terbang” memadai, bukan tidak mungkin bahan batu yang mestinya bisa cantik, malah menjelma menjadi batu cincin yang biasa-biasa saja.
“Jangan pernah menganggap sepele untuk fase awal ini. Bagi saya, langkah awal akan sangat menentukan tampang akhir dari batu,” ucap Topan yang dikenal berpenampilan nyentrik dengan mengenakan berbagai aksesoris batu akik.
Lantas dikemanakan sisa bahan batu yang tergolek di pelataran rumah? “Saya bagikan ke kawan-kawan yang mau punya batu cincin. Silakan mereka pilih sendiri. Mau ambil sekarung juga tak apa. Silakan diasah masing-masing. Tapi kalau ada yang mau mengasah di tempat langganan saya, baru saya beritahu,” sergahnya.
Saat ditanya apa tidak sayang membagikan bahan batu pilihan itu? Topan menjawab singkat, “Tak ada ruginya membagi kebahagiaan ke orang lain.”
Banyak Kisah di Balik Batu
Hobi yang sudah mendarah daging itu makin meluaskan sudut pandang Topan. Dia tidak lagi melihat batu sebatas komoditi ekonomis. Lebih dalam lagi dia sudah melihat ada jejak Sang Pencipta di sana. Maestro tiada tara yang menorehkan keagungan-Nya di setiap batu.
Ketakjuban terhadap karya seni adiluhung itu membuat Topan makin keranjingan batu. Terutama pada keelokan batu Panca Warna. “Memang kita banyak menemui kekuasaan Tuhan dalam kehidupan ini. Tapi secara pribadi saya selalu terkagum-kagum setiap kali menikmati keindahan batu. Begitu kuasanya Allah. Begitu detail Dia buat garis berwarna-warni, begitu halusnya. Dan setiap batu punya keindahan tersendiri. Itu kan artinya betapa luas kreasi Tuhan,” ungkap Topan mengekspresikan kekagumannya.
Dia menceritakan, kegandrungannya terhadap batu akik yang biasa disebut batu lokal, melebihi kesukaannya akan batu mulia. Alasannya tiada lain karena tersimpan pesona perpaduan warna dan motif atau gambar di batu akik yang tidak dimiliki batu mulia.

“Terutama Panca Warna. Dia punya nilai seni tinggi. Perpaduan warnanya luar biasa indah. Begitupun dengan goresan motifnya. Kalau pakai senter kita bakal lihat motif itu berasal dari himpunan goresan halus yang kemudian tampak sebagai bentuk tertentu,” kata Topan yang memiliki banyak batu serupa itu.
Mengenai koleksi batunya, Topan menyebut didapat dari hasil berburu. Mulai dari kawasan Purbalingga, Garut bahkan hingga ke Kalimantan. Selebihnya, terlebih belakangan ini, dia juga kerap mencermati pedagang batu melalui online. Termasuk membeli dalam partai besar lewat proses pelelangan.
Tentang belanja batu bahan secara borongan, Topan berbagi pengalaman. Menurutnya saat membeli bahan dalam jumlah besar, dia tidak pernah berharap semua batu akan “berkelas”. Pengalaman mengajarkan, hanya kisaran 20 persen saja batu yang benar-benar sesuai ekspektasinya. Tapi bukan berarti sebagian sisa bahan tidak berguna. Semua tetap merupakan batu.
“Ini soal selera dan insting. Kalau pun hanya sedikit yang saya anggap bisa diproses, selebihnya tetap batu yang juga bisa diproses jadi batu cincin. Biasanya kalau ada kawan yang minat, saya berikan,” tuturnya.

Lantas akan diapakan koleksi batu pilihannya yang sudah melebihi jumlah seribu itu? Topan mengutarakan punya rencana menjadikan sebagian koleksi batunya untuk souvenir saat anaknya menikah nanti. Sedangkan sebagian lagi akan diwariskan kepada anaknya. “Biar anak saya bisa terus mengenang hobi bapaknya waktu masih hidup,” tuturnya.
Mengenai keaslian batu, Topan juga punya banyak kisah tentang itu. Terutama menyangkut pengalaman kawan-kawan dekat atau relasinya. Seperti yang pernah dialami seorang pejabat di Pemprov Lampung, misalnya. Suatu ketika pejabat itu meminta Topan datang untuk mengobrol. Saat didatangi si pejabat masih bersama beberapa orang di dalam ruangan. Dan tanpa basa-basi, pejabat itu langsung menunjukkan sebuah batu cincin yang baru dibelinya. Dia meminta penilaian Topan atas batu itu.
“Saya jelas gamang. Kalau saya bicara jujur, khawatir yang baru menjual batu ke pejabat itu masih ada di antara orang-orang di dalam ruangan. Jelas saya nggak mau kalau nanti ada yang marah ke saya. Jadi saya bilang bagus,” cerita Topan seraya tersenyum mengingat kejadian itu.
Padahal, kalau mau menilai jujur, cincin yang disebut batu oleh si pejabat sesungguhnya “pantat botol”. “Iya. Itu beling, bukan batu. Lewat rekayasa teknologi sekarang beling kaca dari pantat botol bisa dibentuk seperti batu cincin,” katanya diiringi derai tawa.

Sementara ada kejadian lain yang tidak kalah menarik. Topan dimintai pendapat atas koleksi batu cincin yang lagi-lagi milik seorang pejabat. Kali ini mereka hanya berdua saja. Si pejabat mengeluarkan belasan batu cincin kesayangannya. Tak membuang waktu, Topan langsung mencermati satu persatu deretan batu cincin yang disodorkan ke hadapannya.
“Setelah selesai, saya tanya ke orang itu. Abang mau dengar jawaban jujur dari saya, atau cuma mau dengar yang sekadar ngenakin kuping?” cerita Topan mengulangi perkataannya ketika itu. Mendengar pertanyaan ini si pejabat heran. Kenapa mesti ada opsi serupa itu.
Dijelaskannya, kalau hanya mau dengar jawaban “ngenakin kuping” maka Topan bakal bilang semua koleksi si pejabat adalah batu bagus. Tapi kalau mau tahu kondisi sebenarnya, barulah jawaban sesuai fakta yang disampaikan.
“Kawan ini minta saya bicara jujur. Ya saya bilang, dari belasan batu cincinnya cuma dua yang asli batu. Sisanya batu palsu,” sambung Topan, sambil menceritakan bagaimana si pejabat itu langsung tepok jidat mengingat selama ini dia sudah kena tipu membeli batu imitasi dengan harga tinggi.

Topan juga bilang, terkadang khalayak masih suka terpukau pada sosok yang memakai batu cincin. Kalau dia pejabat atau orang kaya yang memakai batu cincin pasti dianggap pakai batu bagus. Padahal boleh jadi itu batu palsu yang harganya cuma ratusan ribu saja. Sebaliknya, kalau tampilan orangnya kurang meyakinkan atau bukan orang terkenal tapi pakai batu “berkelas”, belum tentu orang percaya itu batu mahal.
“Fenomena seperti itu masih banyak saya lihat. Lalu sekarang sedang ada tren orang kaya lagi suka batu cincin. Cuma berbekal rasa kepingin dan punya duit, akhirnya yang terlihat bagus di mata lalu dibumbui narasi dari penjual tentang khasiat batu itu, langsung terjadi eksekusi. Psikologis semacam ini yang akhirnya jadi sasaran empuk para penipu,” ungkap Topan, sambil bilang, “Jangan sampai juga terkelabu narasi penjual yang bilang batunya punya kekuatan magis. Kalau pun ada yang bernilai magis maka itu adalah keindahan batu itu sendiri. Magis sebagai aktualisasi kekuasaan Allah menghadirkan ciptaan nan indah luar biasa”. (*)