Di Sumatera, jalan tol tidak hanya menjadi jalur beton yang menghubungkan kota-kota. Ia menjadi potret ambisi negara yang dibangun di atas keyakinan (tepatnya mimpi) bahwa kemajuan dapat dikejar dengan kecepatan. Tol Sumatera identik dengan proyek politik yang mengekspresikan ambisi, sekaligus menuntut kesabaran pasar, dan membebankan konsekuensinya kepada publik. Kenaikan tarif Bakauheni–Terbanggi Besar yang melampaui 120 persen sejak 2019, dari sekitar Rp112.500 menjadi Rp254.000, tidak dapat dijelaskan oleh inflasi yang hanya sekitar 18–20 persen dalam periode yang sama.
Pasti, publik memandang kenaikan demi kenaikan itu dengan rasa heran, kesal dan letih. Sebab dalam perjalanan sehari-hari, kenaikan ini terasa seperti tagihan tak terlihat atas mimpi yang tak kunjung terwujud. Mimpi tentang logistik murah, industri bergerak, dan Sumatera (Lampung) yang menjadi poros baru ekonomi. Mimpi-mimpi itu sejauh ini lebih sering hadir dalam presentasi daripada pengalaman nyata.
Tol Trans Sumatera dibangun dengan kecepatan yang jarang terlihat dalam sejarah infrastruktur Indonesia. Ribuan kilometer panjangnya, miliaran rupiah biayanya, dan sebagian besar ditanggung oleh hutang. PT Hutama Karya, perusahaan milik negara yang ditugaskan membangunnya, seperti diminta menulis epik maritim dengan modal perahu kecil. Negara menjanjikan dukungan melalui penyertaan modal, tetapi modal negara tidak sama dengan pendapatan. Ia cuma menunda krisis, bukan menyembuhkan.
Di atas kertas, jalan tol dirancang untuk memicu pertumbuhan. Tetapi di lapangan, pertumbuhan tidak datang semudah membangun ruas jalan. Lalu Lintas Harian Rata-rata masih rendah, kendaraan berat belum mendominasi, dan lonjakan trafik hanya muncul pada musim libur. Ruas-ruas panjang yang paling mahal, justru yang paling sepi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Publik menikmati kemudahan, tidak banyak dan tidak memadai untuk menutup biaya pengelolaan. Maka tarif pun naik. Bukan karena keserakahan, tetapi karena matematika infrastruktur yang memerlukan arus uang yang stabil. Ketika trafik gagal memberikannya, tarif menjadi pintu keluar paling mudah. Naikan tarif lalu serahkan sebagian kepemilikan tol kepada investor, dalam hal ini kepada Indonesia Investment Authority.
Balut dengan bahasa resmi “restrukturisasi”, lalu buat pernyataan sederhana bahwa negara tidak lagi sanggup menanggung beban sendiri. Lalu, investor pun datang dengan kalkulasi.
Masuknya investor menandai bab baru. Tol tidak lagi sekadar proyek pembangunan, tetapi aset yang harus menghasilkan imbal balik. Tarif menjadi simbol keseimbangan antara ambisi politik dan disiplin keuangan. Saat tarif naik, yang terdengar bukan hanya suara mesin di gerbang tol, tetapi desahan ekonomi yang belum pulih. Kenaikan tarif dilabel dengan penyesuaian kondisi ekonomi.
Namun publik membaca tol dengan cara berbeda. Mereka tidak menghitung rasio hutang, tingkat pengembalian, atau penyertaan modal. Mereka membaca kenyamanan jalan, lampu jalan yang mati, marka yang pudar. Mereka membaca banyaknya korban kecelakaan, juga buruknya pelayanan. Mereka membaca pengalaman, bukan neraca. Dalam diam, publik menilai apakah jalan tol ini layak disebut keberhasilan strategis, atau sekadar proyek yang terlalu besar untuk dikoreksi.
Memang, yang paling sulit dari infrastruktur bukan membangun fisiknya, tetapi memenuhi janji yang digadang-gadang, tentang efisiensi, mobilitas, dan harga yang adil. Ketika tarif naik tetapi kualitas terasa datar, publik merasa diminta membayar utang sebuah mimpi, bukan menikmati hasilnya.
Masa depan tol Sumatera barangkali bergantung pada tiga hal yang sederhana yaitu apakah aktivitas ekonomi akan tumbuh dan mengisi jalan, apakah beban keuangan dapat ditata ulang, dan apakah layanan bisa benar-benar membaik.
Jika tiga hal ini bergerak seirama, tol akan menemukan momentumnya. Jika tidak, ia akan menjadi monumen panjang dari ambisi yang terburu-buru. Untuk sekarang, tiap kali tarif naik, publik bertanya-tanya, apakah ini harga kemajuan, atau biaya dari rencana yang tak sampai?
Di sepanjang Sumatera, jalan tol berkilau, membelah sawah, hutan, dan kampung. Tetapi di balik setiap gerbang, ada tagihan yang seolah berkata, “mimpi besar selalu punya harga.” Pertanyaannya adalah: siapa yang membayar, dan untuk apa?








