Bandarlampung (Netizenku.com): Kegiatan rutin diskusi terbuka Satu Malam 27an bertajuk ‘Kebudayaan Lampung dalam Perspektif Senator’ kembali digelar dan membahas budaya Lampung yang terancam punah.
Keluarga Alumni UKMBS Unila (KAULA), berikut segenap pemerhati kebudayaan di Lampung kembali berkumpul di Graha Kemahasiswaan Universitas Lampung dalam rangkaian acara tersebut dan turut mendatangkan seorang Senator, Bustami Zainudin (Anggota DPD RI Provinsi Lampung) yang ditunjuk sebagai pembicara. Disejajarkan pula dengan Ari Pahala Hutabarat (seniman & budayawan), dan Neri Juliawan (Pemerhati budaya & Aktivis Kaula) sebagai teman bicara.
Rangkaian kegiatan tersebut turut mengundang sejumlah instansi dan komunitas dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Dewan Kesenian Lampung (DKL), Taman Budaya Lampung, beserta komunitas aktivis seniman seperti Klasika, SIKAM, PMMPI, dan Gardancestory.
Ketiga pembicara berdialog bersama dengan para peserta, sekaligus bertujuan membuka mata terkait persoalan yang ada dalam ruang lingkup Kebudayaan Lampung.
Selama kurang lebih 2 jam, diskusi tersebut juga diselingi dengan sesi sanggahan dan tanya jawab dari para peserta yang terlibat di dalamnya.
Sebagai prolog, Ari Pahala Hutabarat (APH) memaparkan bahwa makna dari kebudayaan merupakan hasil respon manusia terhadap dirinya sendiri, manusia lain, lingkungan, hingga Tuhan.
Menurutnya, kebudayaan tersebut memiliki nilai pada hasil cipta, rasa, dan karsa dari manusia, sehingga kemudian menjadi landasan utama bagi identitas bangsa dan negara.
“Saya sudah sering bicara soal kebudayaan di sini. Tapi sekali lagi saya paparkan bahwa kebudayaan itu adalah hasil respon manusia terhadap dirinya sendiri, manusia lain, lingkungan, hingga tuhan. Kebudayaan merupakan semua hasil cipta, rasa, dan karsa manusia. Nilai itulah yang kemudian menjadi landasan utama dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kebudayaan merupakan identitas bangsa,” ujar APH, Seniman dan Budayawan, Kamis (27/7).
APH mengutip pemikiran bapak proklamator tercinta tentang Trisakti, “Sebuah bangsa yang merdeka dan berdaulat perlu dan mutlak memiliki tiga hal: berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian secara kebudayaan.”
APH kemudian mengajak peserta untuk bersama-sama melihat kondisi krisis identitas kebudayaan Lampung saat ini, yang telah tergempur secara habis-habisan oleh kebudayaan luar yang bahkan mampu mendominasi.
“Mari kita lihat kondisi kita sekarang, memangnya kepribadian apa yang masih melekat di diri kita? Kita nyaris tak punya lagi identitas, kita habis-habisan digempur oleh kebudayaan asing, mulai dari Korea hingga Eropa,” tambahnya.
Selanjutnya, Neri Juliawan (NJ), menggiring permasalahan menjadi lebih spesifik lagi. Ia mengajak hadirin untuk menyoroti hal terkait implementasi UU Pemajuan Kebudayaan.
Menurutnya selama ini, alih-alih berfokus pada nilai-nilai yang melekat pada diri masyarakat, pemerintah hanya berfokus pada objek-objek ‘luaran’ kebudayaan saja.
“Kita hanya bermain di permukaan. Bicara kebudayaan, bukan sebatas memakai siger dan tapis. Intinya strategi pemajuan kebudayaan tak bisa hanya berkutat pada benda, tapi manusia. Mustinya objek kebudayaan itu inheren dalam masyarakatnya.”
Selanjutnya, Adin Bustami Zainudin mengambil contoh konkret dan spesifik mengenai masalah di atas, yakni (konteks) bahasa.
Lebih tegas lagi, senator ulung itu turut menyampaikan kegelisahannya terhadap nasib budaya Lampung dengan membawa bukti konkret melalui suatu penelitian.
Pernyataan yang disampaikan Sang Senator tentulah dilandasi oleh hasil penelitian UNESCO yang menuliskan, dalam tempo 20-30 tahun ke depan, bahasa Lampung diprediksi akan punah.
Menurut Adin Bustami, Selain karena populasi masyarakat bersuku asli Lampung yang sangat sedikit, yakni sekitar 13%, hal itu terjadi karena masyarakat sangat minim upayanya untuk melestarikan budayanya sendiri. “Kita lihat sekarang, misalnya, orang suku Palembang tinggal di Lampung tetap dia bicara bahasa Palembang, giliran orang Lampung sehari dua hari tinggal di Palembang, sudah ikut-ikutan pakai bahasa Palembang,” ujarnya prihatin.
Baginya, kondisi ini harusnya menjadi tamparan keras bagi para pemangku kebijakan. “Lampung ini bagian dari NKRI, maka yang memiliki otoritas dalam hal ini adalah pemerintah, dan representasi pemerintah adalah pemimpin, baik bupati, gubernur, dan sebagainya. merekalah yang harusnya membuat kebijakan dan menerapkannya. Pemerintah harus mengintervensi agar terselesaikannya masalah ini,” tambahnya lagi
Berikutnya, pada sesi tanya jawab, mulailah para peserta diskusi menanggapi paparan dari para pembicara.
Fauzi Subing, sebagai ketua pelaksana kegiatan merasa bersyukur acara tersebut bisa terus berjalan dan semakin membaik.
“Dari waktu ke waktu selalu hadir wajah-wajah baru. Malam ini juga turut hadir sahabat-sahabat DKL dan Disdikbud Kota Bandar Lampung. Saya berharap pada teman-teman yang merasa jadi bagian dari gerakan ini untuk terus istiqamah, demi kemajuan Lampung ke depannya,” tutupnya. (Luki)