Rumah Sakit Umum Daerah Dr. H. Abdul Moeloek (RSUDAM) Provinsi Lampung menanggapi keluhan masyarakat terkait adanya biaya visum yang dinilai memberatkan korban kasus penganiayaan.
Bandarlampung (Netizenku.com): Pihak rumah sakit menjelaskan, visum et repertum yang dilakukan terhadap korban masih termasuk dalam tahap penyelidikan, bukan penyidikan. Karena itu, ketentuan pembiayaan tidak dapat mengacu pada Pasal 136 KUHAP yang menyebut seluruh biaya penyidikan ditanggung negara.
“Visum et repertum dilakukan dalam proses penyelidikan, bukan di dalam proses penyidikan. Jadi keliru jika ada tafsir yang menyebut biayanya harus ditanggung negara,” jelas pihak RSUDAM.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurutnya, penyelidikan merupakan tahap awal untuk mengumpulkan bukti awal guna memastikan apakah suatu peristiwa benar-benar merupakan tindak pidana. Tahap ini dilakukan oleh penyelidik kepolisian sebelum dilanjutkan ke tahap penyidikan untuk menemukan tersangka.
“Pada saat korban membuat laporan polisi terkait dugaan penganiayaan, visum harus segera dilakukan agar luka atau memar tidak hilang. Karena itu, tindakan visum dilakukan pada tahap penyelidikan,” tambahnya.
Terkait dasar hukum pemungutan biaya, pihak RSUDAM menegaskan bahwa tarif visum telah diatur dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 18 Tahun 2023 tentang Tarif Pelayanan Kesehatan RSUD Dr. H. Abdul Moeloek.
“Berdasarkan lampiran Pergub, biaya pemeriksaan forensik oleh dokter umum sebesar Rp175 ribu, dan pemeriksaan korban dugaan pidana umum (penganiayaan) Rp325 ribu. Jadi totalnya Rp500 ribu, dan itu sesuai aturan, bukan pungli,” terang pihak rumah sakit.
Khusus bagi korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan anak, visum diberikan gratis. Hal itu karena sudah ada kerja sama dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Provinsi Lampung.
“Untuk korban KDRT dan anak, biaya visum sebesar Rp500 ribu ditanggung oleh Dinas PPPA,” ujarnya.
Meski demikian, RSUDAM mengapresiasi masukan masyarakat agar biaya visum digratiskan untuk seluruh kasus.
“Kami tidak menutup telinga terhadap aspirasi masyarakat. Masukan ini akan kami sampaikan kepada Pemerintah Provinsi untuk dibahas lebih lanjut. Tapi tentu perubahan aturan memerlukan proses dan mekanisme sesuai ketentuan hukum,” katanya.
Pihak RSUDAM juga mengucapkan terima kasih atas kritik yang disampaikan masyarakat.
“Kami berharap, sebagai negara hukum, semua pihak memahami asas legalitas. Artinya, setiap tindakan hanya boleh dilakukan jika diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku,” pungkasnya. (*)








