Bandarlampung (Netizenku.com): Empat mahasiswa Universitas Teknokrat Indonesia (UTI) Lampung didampingi LBH Bandarlampung menggugat Rektor UTI di Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN) Bandarlampung.
Sidang kedua yang dipimpin oleh Ketua Pengadilan TUN Bandarlampung Tedi Romyadi S.H. M.H masih pada tahap dismissal prosedur atau proses penelitian terhadap gugatan yang masuk di Pengadilan TUN oleh Ketua Pengadilan.
“Yang menjadi objek gugatan tersebut adalah Surat Keputusan DO dan Skorsing yang diterbitkan oleh Rektor Universitas Teknokrat,” kata Direktur LBH Bandarlampung, Chandra Muliawan, di Bandarlampung, Kamis (24/6).
Gugatan dengan Nomor: 23/G/2021/PTUN.BL, 24/G/2021/PTUN.BL, 25/G/2021/PTUN.BL, 26/G/2021/PTUN.BL dilayangkan oleh LBH Bandarlampung sebagai kuasa dari empat mahasiswa Teknik Sipil yang diberikan sanksi DO dan Skorsing pada 8 Juni 2021 kepada Rektor Universitas Teknokrat Indonesia melalui Pengadilan TUN Bandarlampung.
Gugatan tersebut adalah salah satu upaya hukum yang dilakukan empat mahasiswa tersebut, setelah upaya-upaya non litigasi dilakukan.
Sebelumnya pada 22 April 2021 telah dilakukan upaya mediasi, namun pihak kampus tetap kukuh dengn keputusannya untuk memberikan sanksi dengan dalih melanggar ketentuan akademik.
“Klarifikasi yang diberikan pihak kampus senyatanya sangat berbeda dengan apa yang menjadi dasar objek gugatan. Bahwa yang menjadi dasar penerbitan SK tersebut sangat mengada-ada dan sama sekali tidak berdasar,” ujar Awang sapaan akrab Chandra Muliawan.
Dia mengatakan pihak kampus menuduh mahasiswa yang tergabung di dalam Himpunan Mahasiswa Teknik Sipil telah mengganggu ketenteraman dan ketertiban masyarakat serta berpotensi menjadi kegiatan yang bersifat ekstrimisme dan radikalisme.
“Bahwa tuduhan dan stigma negatif tersebut diketahui berkaitan dengan aktifitas Hima Teknik Sipil yang mendirikan sekretariat di luar kampus,” ujar dia.
Baca Juga: Universitas Teknokrat Dinilai Tergesa-Gesa Sanksi Mahasiswa
Awang menjelaskan pendirian sekretariat di luar kampus tentu beralasan, karena pihak kampus sendiri tidak menyediakan sekretariat khusus yang dapat digunakan untuk kegiatan organisasi dan kemahasiswaan.
“Pihak Hima sendiri telah melakukan upaya permohonan sekretariat khusus namun tidak digubris oleh pihak kampus. Bukan memberikan fasilitas bagi kegiatan organisasi dan kemahasiswaan serta menjamin kebebasan akademik, berekspresi dan berserikat pihak kampus justru memberangus hak dasar mahasiswa yang semestinya dijamin, dilindungi dan dihormati oleh pihak kampus,” kata dia.
Menurut Awang, sanksi DO dan Skorsing dengan pemberian stigma mengganggu ketenteraman dan ketertiban masyarakat serta berpotensi menjadi kegiatan yang bersifat ekstrimisme dan radikalisme sangat merugikan mahasiswa yang selama ini berkontribusi aktif dalam menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi.
“Upaya dengan mengajukan gugatan ke PTUN diambil sebagai langkah strategis yang dilakukan oleh LBH Bandarlampung sebagai pendamping hukum untuk mendapatkan kepastian dan penyelesaian yang berkeadilan bagi mahasiswa yang menjadi korban kediktatoran kampus,” ujar dia.
Namun sangat disayangkan, lanjut Awang, baru pada agenda sidang kedua, mahasiswa diduga telah mendapatkan intervensi dalam bentuk intimidasi dan iming-iming dari pihak kampus melalui senior ke empat mahasiswa teknik sipil tersebut.
“Dugaan intimidasi dan iming-iming pencabutan sanksi akan dilakukan dengan syarat menyutujui dan menandatangani surat pernyataan bahwa telah mengakui kesalahan dan mencabut gugatannya,” kata dia.
LBH Bandarlampung sangat mengecam dengan adanya upaya tersebut, tambah dia, karena telah mengingkari proses-proses hukum formil yang sedang berjalan dengan mengintervensi pihak yang sedang berperkara di luar persidangan sehingga mencederai proses-proses peradilan yang bersih dan adil.
Menurut dia perbuatan yang diduga oleh pihak-pihak yang berkepentingan dalam perkara tersebut mencerminkan tidak profesionalnya pihak kampus karena tidak menghormati proses hukum yang sedang berjalan.
Padahal sebelumnya LBH Bandarlampung telah membuka pintu komunikasi seluas-luasnya kepada pihak kampus untuk mempertimbangkan apa yang menjadi tuntutan mahasiswa tersebut.
“Bahwa mahasiswa merupakan korban pelanggaran HAM karena dicap mengganggu ketenteraman dan ketertiban masyarakat dan melakukan kegiatan yang berpotensi ekstrimisme dan radikalisme sehingga harus kehilangan hak atas pendidikan, bereskpresi, berserikat dan berkumpul yang seharusnya dijamin, dilindungi dan dihormati oleh kampus sebagai bentuk tunduk dan patuhnya terhadap konstitusi,” tutup dia. (Josua)