Tahun 2025 menjadi penanda penting bagi pendidikan Lampung. Dari sisi akses, kemajuan yang dicapai tidak bisa diabaikan. Data BPS dan Dinas Pendidikan Provinsi mencatat Angka Partisipasi Kasar (APK) SD mencapai 98,4 persen dan SMP 94,7 persen. Hampir seluruh anak usia sekolah dasar dan menengah kini telah berada di ruang kelas. Capaian ini menempatkan Lampung sedikit di atas rata-rata nasional dan menegaskan efektivitas kebijakan afirmatif daerah, terutama Bosda dan KIP Lampung 2025, dalam menjaga agar faktor ekonomi tidak lagi menjadi penghalang utama anak bersekolah.
Perluasan akses ini turut ditopang oleh perbaikan infrastruktur dan layanan pendidikan. Rasio guru dan murid di SD dan SMP mulai mendekati standar nasional. Pembangunan ruang kelas baru serta rehabilitasi sekolah rusak menekan jumlah satuan pendidikan dengan fasilitas tidak layak. Program beasiswa dan pembelajaran digital juga mulai menjangkau wilayah terpencil. Secara kuantitatif, pendidikan Lampung bergerak maju dan semakin merata.
Namun pendidikan tidak berhenti pada angka partisipasi. Ketika akses hampir universal, ukuran keberhasilan bergeser ke kualitas dan dampaknya terhadap pembangunan manusia. Di titik inilah tantangan Lampung 2025 menjadi lebih serius. Berbagai indikator literasi dan numerasi menunjukkan Lampung masih berada di kelompok menengah dibanding provinsi lain di Sumatra. Dampaknya tercermin pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Lampung yang memang terus meningkat, tetapi lajunya masih relatif moderat dan belum melonjak signifikan dibanding daerah-daerah dengan kualitas pendidikan lebih kuat. Pendidikan belum sepenuhnya menjadi akselerator utama IPM.
Fenomena ini dapat dibaca sebagai gejala deflasi pendidikan di mana biaya relatif terkendali dan partisipasi tinggi, tetapi nilai tambah kompetensi tidak tumbuh sebanding. Sekolah hadir di hampir seluruh desa, namun daya dorongnya untuk mengangkat kualitas hidup yang tercermin dalam IPM melalui pendidikan, kesehatan, dan daya beli belum maksimal. Pendidikan Lampung telah memperluas fondasi, tetapi belum sepenuhnya memperkuat struktur.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Komparasi nasional memperjelas persoalan tersebut. Untuk jenjang SD dan SMP, Lampung berada sedikit di atas rata-rata Indonesia. Namun pada jenjang SMA, Angka Partisipasi Sekolah masih sekitar 83,2 persen, di bawah rerata nasional yang mendekati 85 persen. Artinya, kesinambungan pendidikan masih rapuh. Padahal, pendidikan menengah atas dan vokasi merupakan penentu utama peningkatan kualitas tenaga kerja, pendapatan, dan pada akhirnya IPM.
Simpul persoalan terletak di hulu kebijakan pendidikan, guru. Sepanjang 2025, Dinas Pendidikan Provinsi Lampung di bawah kepemimpinan Thomas Amirico mendorong uji kompetensi dan berbagai bimbingan teknis (bimtek) guru. Namun tantangan terbesar bukan pada kuantitas program, melainkan efektivitasnya. Uji kompetensi sering berhenti sebagai alat pemetaan administratif, sementara hasilnya belum sepenuhnya diterjemahkan menjadi pembinaan yang presisi. Bimtek kerap berjalan sebagai rutinitas anggaran, belum menyentuh inti pedagogi, literasi digital, dan kemampuan mengaitkan pembelajaran dengan kebutuhan dunia kerja.
Distribusi guru berkualitas juga masih timpang. Sekolah-sekolah di wilayah terpencil kekurangan tenaga pendidik dengan kompetensi tinggi, sementara sekolah di kota relatif lebih siap. Akibatnya, kesenjangan mutu antarwilayah tetap lebar, meski akses fisik pendidikan sudah semakin merata. Tanpa pembenahan serius di hulu mulai dari uji kompetensi yang benar-benar ditindaklanjuti, bimtek yang relevan, hingga pemerataan guru, pendidikan Lampung akan sulit berkontribusi optimal pada peningkatan IPM.
Persoalan relevansi kurikulum memperkuat tantangan ini. Pendidikan vokasi dan keterampilan digital belum cukup kuat untuk menjawab kebutuhan industri pengolahan, pertanian modern, pariwisata, dan ekonomi kreatif yang mulai tumbuh di Lampung. Guru sering terjebak pada ketuntasan kurikulum, sementara dunia kerja bergerak jauh lebih cepat daripada ruang kelas. Lampung ibarat telah membangun jalan pendidikan hingga ke pelosok, tetapi jembatan menuju produktivitas dan peningkatan kualitas hidup masih rapuh.
Refleksi akhir 2025 menuntut pergeseran fokus kebijakan. Akses pendidikan telah dicapai dengan baik. Kini, kualitas di hulu harus menjadi agenda utama. Uji kompetensi guru perlu dijadikan dasar kebijakan peningkatan mutu, bukan sekadar laporan. Bimtek harus dirancang sebagai alat transformasi, bukan formalitas. Insentif, promosi, dan distribusi guru perlu dikaitkan langsung dengan peningkatan kualitas mengajar dan dampaknya terhadap hasil belajar.
Tahun 2025 telah membuka pintu sekolah selebar-lebarnya di Lampung. Masa depan IPM dan daya saing daerah ini akan ditentukan oleh apa yang terjadi di balik pintu tersebut. Jika guru dipersiapkan secara serius dan relevan dengan zaman, pendidikan Lampung tidak hanya akan meluas, tetapi menjadi mesin utama pembangunan manusia, mengangkat kualitas hidup, mempercepat kenaikan IPM, dan memastikan pertumbuhan daerah benar-benar berakar pada kecerdasan warganya.***








