Bandarlampung (Netizenku.com): Berdasarkan pantauan Pusat Kajian Masyarakat Anti-Korupsi dan HAM (Puskamsikam), setidaknya ada 4 restoran di Bandarlampung yang disegel dan dipaksa untuk berhenti beroperasi sementara waktu karena kedapatan tidak mengaplikasikan tapping box di restorannya.
Tapping box sendiri adalah sebuah perangkat yang terpasang di wilayah Wajib Pajak dan gunanya sebagai pembanding terhadap laporan pendapatan yang di-input secara daring oleh Wajib Pajak.
Direktur Puskamsikam Fakultas Hukum Universitas Lampung (FH Unila), Rinaldy Amrullah, mengatakan selain sebagai pembanding, kegunaan tapping box ini antara lain adalah sebagai alat untuk mempermudah pengawasan kegiatan ekonomi di berbagai sektor, serta memastikan transparansi pajak daerah.
Total ada 500 tapping box yang dipasang di wilayah wajib pajak di Kota Bandarlampung, namun hanya sekitar 50% yang implementasinya berhasil.
Padahal, berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 6 Tahun 2018 tentang Sistem Pembayaran Pajak Daerah Secara Elektronik (E-Billing), wajib usaha berkewajiban untuk menjaga dan memelihara dengan baik alat atau sistem perekam data transaksi usaha yang ditempatkan pada usaha Wajib Pajak, dalam hal ini adalah tapping box.
Diketahui, sejak 2018 lalu, Pemerintah Kota Bandarlampung telah mengaplikasikan terobosan ini.
“Ketidakpatuhan wajib usaha dalam penerapan tapping box di tempat usahanya ini membuat Badan Pengelola Pajak dan Retribusi Daerah (BPPRD) Kota Bandarlampung kesulitan untuk memetakan potensi pendapatan daerah di Bandarlampung,” ujar Rinaldy dalam siaran persnya saat dimintai pendapat oleh Netizenku.com, Kamis (10/6) malam.
Di samping itu, lanjut dia, tapping box juga salah satu mekanisme pencegahan korupsi yang merupakan terobosan KPK yang berfungsi untuk mencegah terjadinya kebocoran pajak.
Puskamsikam berpendapat bahwa keengganan wajib pajak untuk memasang tapping box di tempat usahanya sebagai bentuk pelanggaran hukum.
“Penutupan tempat usaha yang dilakukan oleh Satpol PP, Polisi, Kejaksaan, dan Dinas Pajak merupakan langkah yang tepat,” tegas dia.
Pajak, hakikatnya adalah pungutan atau retribusi yang pada akhirnya akan dikembalikan lagi manfaatnya kepada masyarakat luas, seperti pembuatan jalan, fasilitas umum, dan lain-lain.
Kendati demikian, sikap wajib pajak di atas tidak mencerminkan dirinya sebagai pengusaha yang baik.
“Sebenarnya tapping box ini juga memudahkan pengusaha untuk membayar pajak sesuai dengan yang tertera di tapping box, jadi ada asas akuntabilitas antara Wajib Pajak dan Pengelola Pajak,” terang Rinaldy.
Namun Rinaldy juga mempertanyakan mengapa penindakannya baru dilakukan sekarang, yang ditakutkan adalah ada transaksi di bawah tangan, apalagi Restoran Begadang dikenal sebagai tempat makan siangnya pegawai pemerintah daerah.
“Jadi harus ada transparansi, bila perlu pihak restoran juga harus buka suara,” pungkas dia.
Peneliti Puskamsikam, Ridho Ardiansyah, menambahkan harus ditelaah lagi apa yang menyebabkan Wajib Pajak tidak sudi untuk mengimplementasikan tapping box di tempat usahanya, mungkin saja ada faktor-faktor yang tidak mencuat di publik, atau berkaitan dengan lesunya ekonomi akibat pandemi Covid-19.
“Namun demikian, tindakan yang seperti ini tidak dapat dibenarkan, karena cenderung mengarah kepada penggelapan pajak, yang pada akhirnya membuat penyerapan pajak daerah tidak maksimal,” kata Ridho Ardiansyah. (Josua)