Merasa jengah lantaran teman-temannya sibuk membanggakan kebolehan anaknya masing-masing, Emak Sodik tak sudi berdiam diri. Dia juga tancap gas angkat bicara. \”Waw, Sodik gambar Paslon nomor satu. Wuih-wuih…Pak Mustafanya ganteng sedangkan Pak Jajulinya ngademin. Nggak nyangka deh kalau ternyata anak ibu ini jago ngegambar. Nurun siapa kamu, Nak? Warisin kepandaian almarhum Mbah buyutmu kayaknya, nie. Karena dulu Mbah Uyut memang pinter gambar wayang,\” timpalnya, sambil ngucek-ngucek rambut poni Sodik.
Disanjung setinggi langit oleh ibunya masing-masing, anak-anak itu malah kompak pasang muka meringis. Mereka merasa miris pada ibu-ibu itu. Katanya pro demokrasi. Sampai seluruh kampanye Paslon Pilgub dihadiri. Tapi menyebut nomor urut Paslon saja salah. Terbolak-balik, tertukar-tukar. Halooo….ngapain aja waktu datang ke kampanye?
Malah sekarang justru bocah-bocah ingusan itu yang lebih paham soal Pilgub. Ini mungkin yang dikhawatirkan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Lembaga ini memang getol meminta penyelenggara pemilu dan peserta pilkada untuk tidak melibatkan anak-anak dalam urusan politik.
Pokoknya, semua kampanye berbau politik harus steril dari kehadiran anak-anak. Walau untuk yang satu ini, sampai sekarang pun masih cukup sulit buat diimplementasikan. Lantaran terbentur kendala klasik urusan domestik para orangtua yang tidak bisa meninggalkan anaknya di rumah.
Tapi akan lucu atau malah memprihatinkan bila kedapatan ada bocah ingusan yang sering diajak nonton kampanye Pilgub, akhirnya jadi pintar berpolitik. Akan lebih kompleks lagi kalau ternyata bocah tersebut sampai punya pilihan paslon sendiri, berdasarkan suara hati nurani yang murni nan suci milik seorang anak yang belum akil baligh.
Lebih seru lagi kalau ternyata pilihan bocah-bocah semacam Sodik, Kodrat, Usup dan Neneng itu, berbeda dengan pilihan orangtuanya. Bisa dibayangkan bila itu sampai benar terjadi. Umpamanya si ibu milih Paslon A, dan karena takut berbeda pendapat lalu kena sanksi embargo saat di kamar, suaminya pun manut memutuskan pro ke Paslon A.
Tapi ketenteraman itu bisa mendadak koyak saat diketahui buah hati mereka yang mengucap huruf R pun masih belepotan, tiba-tiba ngotot bahkan beraliran keras lebih cenderung menjagokan calon B.
Bisa makin runyam urusannya kalau si bocah memaksakan kehendak pada ibu dan ayahnya untuk menyamakan pilihan dengannya. \”Pokoknya pilih B. Kalau nggak nurut, aku nggak mau makan. Biar aja aku sakit. Biar diopname sekalian pake BPJS. Bodo amat. Pokoknya pilih B!\” Desak si bocah. Berabe toh urusannya?!
Tapi apa iya anak-anak yang dibawa ke kampanye Paslon, alam pikirnya bisa langsung terkontaminasi dan terdoktrinasi oleh logika politik yang dipenuhi muatan propaganda dan janji-janji politik kandidat?
Kalau orang dewasa yang ikut kampanye saja masih sering kedapatan tidak paham atau sesungguhnya memang cuek dengan urusan kampanye, jangan-jangan para bocah yang dituntun orangtuanya datang ke kampanye pun justru menganggap mereka sedang diajak kondangan ke pesta kawinan. Sambil asyik tengok kanan-kiri seraya benaknya menggugat, \”Kapan ya makan prasmanannya dimulai? Oh iya, makan siang kali ini gratis atau ditukar surat suara?\” UPS! (Hendri Std)
Halaman : 1 2