Bandarlampung (Netizenku.com): Seorang teman bertandang. Kopi tanpa gula kuhidangkan. Obrolan pun melebar tanpa juntrungan. Tak masalah. Karena kami memang sama-sama sedang membunuh waktu.
Nyatanya, obrolan tanpa pakem sekali pun, terkadang justru menggiring pada perbincangan serius. Meski tanpa mengernyitkan dahi. Tanpa perlu memutar otak untuk berpikir keras. Mengalir saja mirip air. Ya, air.
Mirip istilah yang dipakai oleh temanku ini. Dia bercerita, saat ini banyak pejabat yang berperan ganda seperti artis drakor. Suka mendramatisir. Dia lantas menyebut nama seorang pejabat. Menurutnya, demi menciptakan kesan heroik, tampilan pejabat itu dibikin mendukung. Wajahnya dibuat serius. Seakan setiap detik waktu kerjanya full terpakai untuk berpikir. Memikirkan pekerjaan.
Seperti merasa kurang total, pejabat itu tak jarang menambahkan aktingnya dengan berkeluh kesah. Mengeluhkan pekerjaan yang tak kunjung kelar. Satu rampung, menyusul pekerjaan berikutnya. Begitu terus-terusan. Lagi-lagi, mirip air. Mengalir.
Tapi temanku menukas, semua itu palsu. Cuma sandiwara. Pejabat-pejabat serupa itu sesungguhnya hanya pandai membangun citra. Baik pada atasan. Maupun pada kolega. Karena pekerjaan yang katanya setumpuk, sesungguhnya tinggal perlu dibubuhkan tanda tangannya saja. Selebihnya sudah dituntaskan anak buah.
Anehnya lagi, temanku menambahkan, tak putus-putus berkeluh kesah tentang beban kerja, tapi pejabat ini sudah belasan tahun berada di posisi itu. Tak pernah sekali pun berkeinginan hengkang dari kursi kerjanya. Untuk menjajal bidang lain.
Kalau pun pernah di-rolling, fase itu hanya seumur jagung. Sebentar saja. Kemudian, abrakadabra, dia kembali ke posisi semula. Kekuatan lobi-lobi dan relasi serta upeti (ups!) kiranya menjadi kata kunci.
Sesaat setelah kembali ke posisi tambatan hatinya, akting drakor kembali dia mainkan. Ritme mengeluh, memasang wajah letih segera dipertontonkan. Lagu lama lagi-lagi diputarnya.
“Itu semua palsu. Bener-bener bajigur tuh orang. Bidang yang ditanganinya itu basah. Bisa dibilang ‘mata air’. Makanya bikin dia betah di sana. Tapi perilakunya seakan-akan terzalimi. Dia kesankan bidangnya itu isinya penuh kesusahan. Ibarat biangnya ‘air mata’. Dasar sontoloyo. Boro-boro pengabdian. Yang ada di isi kepalanya cuma gue dapat apa. Bukan gue bisa berbuat apa. Huh, gemes gue sama penjahat, eh pejabat kayak gitu!” sungut temanku panjang lebar.
Aku terpaku mendengarkan kisahnya. Sesekali menimpali. Sambil menyeruput kopi tanpa gula. Yang anehnya, bagiku, tak terasa pahit sama sekali. Mungkin lantaran sudah terbiasa mengecap pahit getir keseharian. Aku kembali menyimak kisah pejabat “mata air” yang terus mengalir dari mulut temanku. (Hendri Std)