Ketika Belanda menjajah menggunakan senapan dan senjata modern untuk menguasai wilayah Hindia Belanda, yang kini dikenal sebagai Indonesia.
Kala itu perjuangan bangsa Indonesia hanya bermodalkan bambu runcing dan senjata tajam tradisional. Tak khayal negara berjuluk Negeri Kincir Angin berhasil menduduki Indonesia selama 350 tahun.
Pada akhirnya Indonesia berhasil meraih kemerdekaan dengan bantuan sekutu yang juga terselip agenda sendiri untuk mengusir Belanda dalam rangka menggantikan mereka mengeksploitasi sumber daya Indonesia.
350 tahun bukanlah waktu yang sebentar. Bahkan siasat Jepang berjalan mulus, Indonesia kembali dijajah selama 3,5 tahun hingga akhirnya berhasil diproklamasikan Soekarno.
Meskipun kita merayakan kemerdekaan yang diperjuangkan dengan segenap jiwa raga, ada pertanyaan mendalam yang perlu direnungkan. Apakah kita benar-benar puas dengan kemenangan yang diraih dengan bantuan pihak lain dan senjata tradisional semata? Secara pribadi, saya merasa tidak puas!
Dari bangku sekolah dasar kita kenyang menelan ajaran guru sejarah menyoal kemerdekaan Indonesia yang berhasil direbut dengan bermodal bambu runcing.
Pengetahuan itu membangun gambaran nenek moyang kita sangatlah lah kuat. “Hanya bermodal bambu runcing saja dapat meraih kemenangan apalagi ketika menggunakan senjata modern”. Kira-kira begitu gambaran yang tertanam.
Namun, apakah kita sebagai bangsa tidak mau belajar dari sejarah? Seharusnya kita bercermin dan mempersiapkan diri dengan senjata dan strategi yang lebih kuat.
Sayangnya, Indonesia kerap tertinggal dari negara-negara tetangga. Alih-alih menjadi pelopor, kita justru tertinggal dan hanya mampu memandang pundak negara lain dari belakang.
Jepang, misalnya, telah memasuki babak baru yang dikenal industri 5.0, sementara negara-negara lain telah bertransformasi menuju industri 4.0.
Sedangkan Indonesia terlena jalan di tempat, dengan klaim sedang menuju era industri 4.0, memperlihatkan Indonesia belum siap. Tidak belajar dari pengalaman masa lampau.
Di era digitalisasi ini, negara yang menguasai teknologi dan informasi akan memimpin. Arus informasi yang begitu cepat membuat penggunaan senjata konvensional menjadi usang.
Gagapnya Indonesia mengahadapi arus digitalisasi tercermin dari peristiwa peretasan Pusat Data Nasional Sementara (PDNS).
Peretas berhasil mengakses data penting dan meminta tebusan sebesar 8 juta dolar AS, atau sekitar 131 miliar rupiah.
Pemerintah mengaku telah menemukan “biang kerok” di balik serangan PDNS berupa virus ransmwore. Namun, mencari penyebabnya saja tidak cukup.
Kritikan bermunculan dari mana-mana. Pakar keamanan siber Vaksincom, Alfons Tanujaya, pun turut mengkritik lemahnya lemahnya proteksi keamanan PDNS.
Menurutnya PDN merupakan penyimpanan terbesar sekelas Amazon Web Service (AWS) maupun google cloud. “Levelnya Amazon, Administrasi selevel warnet,” begitu kata pakar.
Dampak lemahnya keamanan PDN merabah ke segala lini sektor pelayanan masyarakat. Sektor pendidikan paling terkena getah sebab ribuan data pendaftar Kartu Indonesia Pintar (KIP) kuliah hilang. Padahal waktu sudah dekat untuk memasuki masa perkuliahan.
Selain itu dilansir dari Tempo.co sebanyak 47 layanan Kemendikbud pun turut terkendala akibat peretasan yang dilakukan hacker.
Peristiwa tersebut menggaris bawahi sistem keamanan teknologi masih lemah. Indonesia belum siap menghadapi serangan digital yang menyebabkan gangguan selama tujuh hari.
Di zaman dengan arus informasi yang deras, bukan hanya pesawat tempur yang penting untuk diperbanyak. Peningkatan teknologi merupakan bagian senjata perang utama yang wajib diperhatikan.
Kita harus belajar dari pengalaman masa lampau. Seperti halnya yang dikatakan sang proklamator, Soekaeno, “Jas Merah (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah)”. (Luki)