Dua hari nongkrong di Ngejalang Fest 2025 Bumi Lebu Negeri Ratu Tenumbang, rasanya kayak otak saya dikasih mode “flashback ultra HD”. Saya datang cuma mau makan jajanan, lihat-lihat, dan bikin story ala-ala “hidupku indah padahal enggak juga”. Tapi baru dua langkah masuk, saya langsung kena hantam nostalgia di bagian dada kiri agak atas.
Negeri Ratu Tenumbang (Netizenku.com): Yang pertama nyapa adalah bunyi kukur, “krek… krek… krek…”. Itu bukan suara kelapa diparut, itu suara memori masa kecil diketok pelan biar bangun. Tiba-tiba saya merasa jadi bocah ingusan yang duduk jongkok dekat ibu sambil pura-pura nunggu serpihan kelapa jatuh, padahal cuma mau nimbrung tanpa kontribusi berarti. Dibilang jangan dekat malah ngesot makin dekat, udah kayak magnet ketemu besi.
Tapi yang paling bikin saya speechless adalah pemandangan ibu-ibu bersarung duduk bersila memarut kelapa.
Wah, ini perlu saya garis bawahi, bold dan miring:
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ternyata ibu-ibu bersarung itu lebih memikat daripada ketika mereka pakai leging ketat demi dibilang modern.
Entah kenapa, sarung itu punya aura. Anggun tapi sederhana. Santai tapi wibawa. Adem tapi berkarakter. Ibaratnya kalau sarung punya akun Instagram, pasti bio-nya, “natural beauty, no filter”.
Sementara kalau leging ketat? Ya… kita semua tahu. Kadang terlalu jujur dalam menampilkan geografi tubuh yang tidak perlu ditampilkan.
Melihat mereka bersarung itu seperti melihat budaya yang sedang berdiri tegak sambil bilang, “Tenang nak, kita nggak punah kok, cuma lagi ngumpet sebentar”.
Lalu saya lanjut jalan dan menemukan gerobak pelepah pinang, kendaraan paling jujur dan paling berbahaya yang pernah saya naiki di masa kecil. Nggak ada rem, nggak ada sabuk pengaman, dan kalau ngebut tinggal serahkan nyawa kepada Tuhan dan teman yang narik. Dulu kalau jatuh, bukan nangis, malah bangga.
“Liat nih, lututku lecet tiga! Kamu cuma satu! Lemah!”
Mental juara sebelum kenal Piala Dunia.
Trus ada gegebok undom, alias batok kelapa sakti yang dijadikan sepatu berkaki satu. Kita jalan gaya flamingo yang habis diputusin pacarnya, tapi pede luar biasa. Tali putus? Bukan marah, malah heboh nyari tali baru sambil teriak, “Gas lagi! Aku belum puas!”
Setiap sudut festival itu seperti mesin waktu manual. Nggak pakai tombol, nggak pakai portal, cukup pakai suara, tawa, dan aroma kelapa.
Dan yang bikin saya meleleh kayak es mambo jam 1 siang adalah suasana masyarakatnya. Anak-anak lari tanpa gadget, ibu-ibu bersarung bekerja sambil senyum, bapak-bapak nonton sambil ketawa kecil kayak baru ingat cinta pertama.
Semuanya terasa… tulus.
Tulus kayak makan singkong rebus sama kopi pahit. Sederhana tapi nyentuh jiwa.
Saya duduk sebentar di bawah pohon pinang, lihat anak-anak main, lihat ibu-ibu bersarung yang anggun tanpa paksaan, lihat bapak-bapak yang sepertinya sudah berdamai dengan isi dompet. Di sana saya sadar kalau budaya itu tidak pernah hilang.
Kita saja yang terlalu sibuk ngejar modern sampai lupa nengok belakang.
Hari itu, nostalgia rasanya tumpah ruah. Kalau nostalgia itu makanan, saya makan tanpa nahan kalori. Kalau nostalgia itu minuman, saya teguk sampai bibir belepotan.
Dan akhirnya saya cuma bisa pulang sambil senyum sendiri, karena masa kecil saya rasanya ikut nebeng pulang di tas.
Untuk semua yang bikin saya “pulang” ke bagian hidup yang paling manis, saya cuma mau bilang, “Terima kasih Sai Batin Marga Tenumbang, terima kasih kepada masyarakat yang gotong-royong menghidupkan budaya seindah ini, dan terima kasih kepada sang inisiator Ricard Sambera atas ide cerdas yang bukan hanya membuat festival—tetapi sukses menghidupkan kembali kenangan yang hampir tenggelam oleh modernitas”.
Sarung tetap juara. Budaya tetap hidup, dan nostalgia? Resmi bikin saya ketagihan. (*)








