Bandarlampung (Netizenku.com): Aku kenal Iwan Fals (IF) sejak di bangku sekolah menengah pertama. Mungkin, bisa dianggap agak telat. Sebab banyak orang yang telah mengakrabi IF semenjak masih bocah. Tak apa, lebih baik telat. Ketimbang tidak sama sekali. Begitu orang bijak berkata. Dan aku sepakat.
Album IF pertama yang aku miliki bertajuk 1910. Masih berbentuk kaset. Dirilis 1 Januari 1988. Di dalamnya berjajar lagu Buku Ini Aku Pinjam dan Pesawat Tempur. Kendati semua lagu aku suka, tapi yang fenomenal merebak adalah kedua lagu itu.
Semenjak itu pula aku mulai mencari lagu-lagu IF yang rilis jauh sebelumnya. Tak sekadar mendengarkan tapi kusimak. Kuhayati. Hingga meresap ke sanubari. Halahhhh!
Berlanjut kemudian ke album Mata Dewa, lalu Swami dan Kantata Takwa. Nyaris lagu-lagu IF kuhapal liriknya (ketika itu). Tanpa kusadari lirik-lirik itu begitu menghujam dan membekas di pikiran. Bahkan, rasa-rasanya, nasihat orangtua kalah digjaya dibanding petuah IF lewat lirik lagunya.
Tak pelak, ada satu masa, aku tumbuh dengan alam pikir yang ngiwan fals. Tak bisa dipungkiri. Sesekali pikiranku juga terilhami dengan lirik lagu dan cara bernyanyinya yang meledak-ledak saat konser. Pokoknya, bak triger yang mampu mengirim getaran.
Waktu bergulir. Masa berganti. Usia bertambah angka. Emosi bersalin rupa. Menjadi aura bijak. Sabtu (28/10/2023) malam, Tuhan mempertemukan kami kembali di Lapangan Saburai. IF menggelar konser dan aku menjadi satu dari ribuan penggemarnya yang terhipnotis dengan penampilannya.
Kami “bercengkerama” melalui lirik yang di-koor-kan bersama. Penonton berusia tak muda lagi berbaur dengan penonton usia belia. Melebur hanyut dalam “sihir” lagu IF.
Konser usai. IF balik badan. Aku beranjak pulang. Sepanjang perjalanan ke rumah masa-masa saat aku masih berlagak ngiwan fals masih terus membuntuti. Sungging senyum terbit mengenang fase itu. Aku seakan menonton kaleidoskop.
Hingga pagar rumah kubuka. Tepat pada langkah pertama menjejak pekarangan, semua potret masa lalu yang bersinggungan dengan IF buyar. Bukan raib. Tepatnya kulipat. Kusimpan rapi di saku hati. Untuk kubuka kembali pada saat-saat kuperlu untuk membasuh kerinduan masa lalu.
Langkah berlanjut ke pintu. Aku kembali menjadi aku. Yang tak terlalu ngiwan fals. Tapi aku sebagai suami dan bapak dari anak-anakku. Sesaat lirik lagu Kembang Pete berkelebat. “Semoga hidup kita bahagia. Semoga hidup kita sejahtera”. (Hendri Std)