Oleh: Nizwar Affandi
DI beberapa WA Group di Lampung yang saya ikuti, dalam beberapa hari ini sedang ramai dengan rangkaian kedatangan Cawapres Sandiaga Uno.
Keriuhan yang terjadi lebih pada hal remeh temeh yang tidak menyentuh substansi, sentimen like and dislike yang diwakili oleh berbagai meme.
Bagi saya Sandi adalah figur yang cukup inspiratif walaupun ia misalnya tidak menjadi Cawapres atau Wagub DKI Jakarta sekalipun.
Gelora Pilpres yang memberikan amplifikasi sehingga figur yang inspiratif itu mengalami gigantisme menjadi seperti manusia setengah dewa kalau meminjam lagunya Iwan Fals.
Bagi saya sebagai putra Lampung walaupun menetap di Jakarta, jauh lebih menarik untuk mencari jejak beliau di Lampung sepanjang riwayat dirinya berkiprah dalam dunia usaha.
Di mulai dengan sebuah pertanyaan, apakah pernah beliau melakukan aktivitas usahanya di Lampung?
Dari penelusuran secara awam saya mendapatkan sebuah fakta: Dipasena, areal tambak udang yang pernah menjadi salah satu yang terbesar di dunia ternyata pernah memiliki persinggungan erat dengan Sandiaga.
Saya menemukan banyak berita dan artikel lama tentang itu. Sandi bersama dengan Rosan Roeslani melalui Recapital Advisors adalah pembeli pertama Dipasena Citra Darmaja (DCD) dalam lelang BPPN dan PPA setelah DCD diserahkan Gajah Tunggal ke negara karena Sjamsul Nursalim tidak bisa membayar kewajiban BLBI.
Konon harga pembeliannya jika dihitung per meter persegi jauh lebih murah daripada pembelian Gula Putih Mataram (GPM) dan perusahaan-perusahaan lainnya yang sama-sama berusaha di atas tanah negara beralas hukum HGU.
Setelah membaca berbagai arsip artikel dan berita itu, bagi saya menjadi menarik untuk ditanyakan mengapa Recapital Advisors dinyatakan gagal bayar memenuhi kewajiban kepada negara dan gagal melakukan revitalisasi DCD?
Mengapa begitu cepat DCD kemudian berpindah tangan lagi ke konsorsium Neptune kemudian berpindah-pindah lagi sampai akhirnya dimiliki Charoen Pokphand (konglomerasi Thailand) melalui Aruna Wijaya Sakti (AWS)?
Pada riwayat perjalanan hidupnya melalui berbagai kendaraan perusahaan, Sandi memang sangat bertalenta.
Membeli perusahaan yang mati suri atau kinerjanya jeblok dengan harga murah kemudian menjualnya kembali dengan harga mahal.
Mengingatkan saya pada tokoh yang diperankan Richard Gere dalam film \’Pretty Woman\’ dua dekade yang lalu.
Menarik untuk ditanyakan apakah pada saat itu Sandi dan Recapital Advisors melihat Dipasena hanya sekadar sejumlah angka-angka, sehingga diperlakukan seperti mobil tua yang cukup didempul alakadarnya kemudian dijual kembali?
Apakah pada saat itu Sandi tidak tergerak hatinya melihat nasib ribuan petambak dan puluhan ribu jiwa keluarganya yang harus menanggung jebakan hutang Gajah Tunggal dan terkatung-katung nasibnya?
Pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya akan melahirkan sejumlah pertanyaan lain.
Bagi saya dan mungkin masyarakat Lampung, penjelasan soal Dipasena menjadi cukup penting, karena bisa menjadi salah satu parameter untuk mengukur komitmen kerakyatan dan kemampuan Sandi dalam membenahi dan membangun ulang sebuah entitas usaha dengan begitu banyak hajat hidup didalamnya dan bukan sekedar kotak-katik angka di atas setumpuk porto folio tanpa nurani.
Kita semua mungkin sependapat bahwa memimpin negara dan mengurus hajat hidup ratusan jiwa adalah sebuah pekerjaan yang tidak main-main. Karena itu, rekam jejak calon menjadi sangat penting.
Melalui rekam jejak dan sejumlah narasi yang menjelaskannya, publik akan mengetahui dengan lebih terang dan dapat mendudukkan postur para calon secara lebih wajar dan proporsional. Insha Allah. (*)
*Penulis adalah Alumni FISIP Unila dan Pasca Sarjana FISIP UI