Di medsos belakangan ini sedang viral tagar “jangan tunggu 2024”. Ada yang bilang, “Kok, nuansanya beraroma politik banget, ya?
Pasti bakal ada yang terpanggil buat komentar, “Jon, kita lagi hadapi pandemi yang galak. Kenapa mereka masih sempet-sempetnya ngurusin politik?!”
Bagi pengusung #jangantunggu2024 pasti serta merta gesit menjawab, “Hadeh Jon, makanya jangan kelamaan main di kolam butek. Justru karena sedang pandemi, kita butuh pemimpin yang bisa segera membawa kita keluar dari bekapan pandemi ini. Klo yang sekarang kan baru sebatas bisa gonta-ganti istilah. Tapi pandeminya makin mengganas.”
Kalau mau diterusi sahut-sahutan itu pasti bakal berujung pada debat kusir. Ujung-ujungnya topik yang dibahas malah bergeser dari covid-19. Itulah kita. Inilah Indonesia sekarang. Tidak lagi sama seperti bangsa Indonesia di tahun 1945. Yang masih mau guyub merapatkan barisan buat hadapi musuh bersama. Miris, toh!
Tapi saya merasa lebih miris lagi, ketika seorang kawan mengirim pesan via WhatsApp. Dia menulis, “#jangantunggulamalama”
Tak pelak saya terusik dan segera menanyakan maksud tagar yang ditulisnya. Masih melalui WA, kawan saya menjawab. “Iya, jangan tunggu lama-lama kondisi begini. Nanti lama-lama kita keburu diambil Tuhan”.
Astaga, ternyata kawan saya itu sedang memelestkan lirik lagu Cici Paramida yang bertajuk “Jangan Tunggu Lama-lama” yang bait reff-nya tertulis; “Jangan tunggu lama-lama, nanti lama-lama aku diambil orang”.
Tapi lantaran konteksnya disandingkan dengan kondisi pandemi covid-19 yang kian mengganas, kondisi dimana orang-orang dekat kita sudah banyak yang terinfeksi, dan tidak sedikit di antaranya yang berpulang ke Sang Khalik. Akhirnya kesan #jangantunggulamalama itu terasa lebih ‘ngejleb’ ketimbang #jangantunggu2024.
Tak dipungkiri saya terkesima menelaah paparan kawan saya tadi. Ada benarnya. Kita memang mesti bersegera keluar dari kondisi ini. Jangan tunggu lebih lama lagi, kalau tidak ingin makin banyak jumlah yang bertumbangan akibat covid.
Tapi apa iya kita sekarang sedang bersegera keluar dari kubangan pandemi? Kalau dari waktu ke waktu yang kita dapati baru sebatas berkutat membangun narasi sambil mengotak-atik istilah dari PSBB, PPKM sambil diberi embel-embel darurat lalu direvisi lagi menjadi level 4, misalnya. Sementara di sisi yang paling urgen rumah sakit kekurangan oksigen. Tak pelak banyak pasien megap-megap tanpa penanganan.
Selain itu ada banyak lagi rakyat yang juga sedang megap-megap menahan lapar lantaran suami atau ayahnya tidak bisa ke luar rumah buat mencari penghasilan karena penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Darurat. Eh, Level 4.
Saya lantas mencoba menghubung-hubungkan antara #jangantunggu2024 dengan #jangantunggulamalama versi kawan saya tadi. Ternyata, menurut saya, ada korelasi erat di antara kedua tagar itu.
Malah saya berasumsi tagar made in kawan saya justru mempertegas tagar jangan tunggu 2024 yang sudah terlanjur viral itu.
Tanpa bermaksud menyulut debat kusir dengan kawan tadi, saya lalu menguraikan pandangan saya kepadanya. Tetap via pesan WhatsApp. Cukup lama berselang, hingga akhirnya muncul balasannya.
“Kalau #jangantunggu2024 nuansa politisnya terasa kental. Sangat kuat aroma perseteruan cebong-kampret. Tapi klo #jangantunggulamalama itu clear dari urusan politis. Aku nggak peduli siapa sosok yang diandalkan untuk bisa membawa ke arah perubahan. Aku lebih cenderung ke poinnya. Kondisi sekarang ini jelas-jelas karut-marut. Aku berharap benang kusut penanganan pandemi ini segera terurai. Terserah, siapa yang bisa mengurainya. Itu saja. Titik.”
Duh, agaknya kawan saya mulai emosi. Saya cuma bisa nyengir. Saya pun tak berminat memperpanjang obrolan seputar tagar. Tapi diam-diam benak saya terusik pada hal lain. Saya jadi kepingin mendengar lagu lawas “Jangan Tunggu Lama-lama”-nya si Cici Paramida.
Dalam hitungan detik, jempol saya sudah bergerak membuka YouTube. Sejurus kemudian irama dangdut segera berdenyut. “Jangan tunggu lama-lama, nanti lama-lama aku diambil orang”. Begitu suara ancaman dari si Cici. ()