Ekonomi Lampung dan Ilusi Stabilitas (Bagian 3in3)

Ilwadi Perkasa

Rabu, 24 Desember 2025 - 01:37 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Anomali Fiskal (Ilustrasi.iwa)

Anomali Fiskal (Ilustrasi.iwa)

Dalam beberapa tahun terakhir, Lampung kerap digambarkan sebagai provinsi yang relatif stabil. Pertumbuhan ekonomi terjaga, inflasi terkendali, dan sejumlah indikator makro menunjukkan perbaikan. Narasi stabilitas ini diperkuat oleh berbagai penghargaan dan apresiasi yang diterima pemerintah daerah. Namun pertanyaannya sederhana. “Stabil untuk siapa, dan sejauh apa stabilitas itu menopang perubahan nyata?”

Stabilitas ekonomi Lampung sejauh ini lebih bersifat administratif ketimbang struktural. Pertumbuhan memang terjadi, tetapi bertumpu pada sektor-sektor yang sama dari tahun ke tahun, pertanian primer, perdagangan dasar, dan aktivitas berbasis konsumsi. Nilai tambah rendah masih menjadi ciri utama. Hilirisasi berjalan lambat, industrialisasi terbatas, dan penciptaan lapangan kerja formal tidak tumbuh seiring pertumbuhan angkatan kerja.

Dalam kondisi seperti ini, kemiskinan yang menurun tidak serta-merta berarti kesejahteraan yang menguat. Banyak rumah tangga keluar dari garis kemiskinan, tetapi tetap berada sangat dekat dengan garis tersebut. Sedikit guncangan harga pangan, biaya pendidikan, atau kesehatan dapat dengan mudah menarik mereka kembali ke bawah. Stabilitas yang dipuji lebih menyerupai keseimbangan rapuh, bukan ketahanan ekonomi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Masalah kapasitas fiskal kembali menjadi kunci. Dengan PAD yang terbatas dan ketergantungan tinggi pada transfer pusat, kemampuan pemerintah daerah untuk mendorong transformasi ekonomi sangat sempit. Belanja publik lebih banyak terserap untuk kebutuhan rutin ketimbang investasi jangka panjang yang berisiko tetapi berdampak besar. Dalam situasi ini, kehati-hatian fiskal sering kali dibaca sebagai keberhasilan, padahal ia juga mencerminkan keterbatasan pilihan.

Ilusi stabilitas muncul ketika keterbatasan tersebut tidak diakui secara terbuka. Ketika ekonomi daerah tidak runtuh, ia dianggap cukup sehat. Ketika indikator makro tidak memburuk, ia dirayakan sebagai keberhasilan. Padahal tantangan pembangunan bukan sekadar menghindari krisis, melainkan menciptakan lompatan. Di Lampung, lompatan itu belum terlihat jelas.

Kondisi ini berkaitan langsung dengan fenomena kadalistik kebijakan. Ketika citra keberhasilan terus diproduksi, ruang untuk debat ekonomi yang lebih jujur justru menyempit. Diskusi publik lebih sering berputar pada capaian jangka pendek, bukan pada pertanyaan struktural,  mengapa basis pajak tidak tumbuh signifikan, mengapa sektor bernilai tambah tinggi sulit berkembang, dan mengapa mobilitas sosial berjalan lambat.

Persoalan lain yang jarang disentuh adalah kualitas pertumbuhan itu sendiri. Pertumbuhan yang tidak disertai peningkatan produktivitas dan upah riil akan berhenti sebagai angka statistik. Dalam jangka panjang, kondisi ini berisiko menciptakan generasi pekerja yang bekerja lebih keras tanpa peningkatan kesejahteraan yang sepadan. Stabilitas semacam ini justru menyamarkan stagnasi.

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menegasikan kerja pemerintah atau menafikan kemajuan yang ada. Namun justru karena Lampung relatif stabil, ia membutuhkan keberanian untuk keluar dari zona nyaman. Stabilitas seharusnya menjadi landasan untuk mengambil risiko kebijakan yang lebih progresif, bukan alasan untuk mempertahankan pola lama.

Serial ini, tentang penghargaan, kadalistik kebijakan, dan ilusi stabilitas ekonomi pada akhirnya mengarah pada satu kesimpulan sederhana, yakni pembangunan daerah tidak boleh berhenti pada pengakuan simbolik. Ia harus diuji pada kemampuannya mengubah struktur ekonomi, memperkuat kapasitas fiskal, dan memperluas kesempatan hidup warga.

Jika Lampung terus merasa cukup dengan stabilitas yang ada, maka penghargaan akan terus datang, tetapi perubahan akan berjalan di tempat. Namun jika stabilitas itu dibaca sebagai modal untuk berbenah secara jujur dan berani, maka kritik termasuk yang terasa tidak nyaman justru menjadi bagian penting dari kemajuan itu sendiri.

Tamat!

Berita Terkait

Bandara Radin Inten II Menuju Internasional, Imelda Optimistis Pariwisata Lampung Terdongkrak
GUSDURian Lampung Gelar Kelas Penggerak untuk Cetak Pemimpin Muda Inklusif
UMP Lampung 2026 Resmi Naik 5,35 Persen Jadi Rp3.047.734
Kadalistik Kebijakan dan Produksi Citra di Lampung (Bagian 2 in 3)
Penghargaan dan Anomali Fiskal Lampung (Bagian 1 in 3)
Kapasitas Fiskal Tinggi, Mengapa Lampung Tetap Berutang?
Refleksi Akhir Tahun Lampung 2025: Angka Kemiskinan Turun, Nafas Ekonomi Rumah Tangga Masih Diuji
Pemprov Lampung Matangkan Kesiapan Lahan Koperasi Merah Putih

Berita Terkait

Rabu, 24 Desember 2025 - 11:17 WIB

Dinas PPKB Tubaba Gelar Pelayanan KB Keliling

Rabu, 24 Desember 2025 - 11:14 WIB

Tiyuh Gunung Timbul Realisasikan Dana Desa 2025 untuk Infrastruktur

Selasa, 23 Desember 2025 - 20:28 WIB

Pemkab Tubaba Perketat Pengawasan Pembangunan Gedung Kantor Bersama

Kamis, 18 Desember 2025 - 20:14 WIB

Pemkab Tubaba Salurkan Bantuan Rp574 Juta untuk Korban Banjir Bandang

Kamis, 18 Desember 2025 - 15:11 WIB

Pemkab Tubaba Terima Bantuan 7 Bentor Sampah dari PGN

Rabu, 17 Desember 2025 - 23:30 WIB

Dorong Profesionalisme Aparatur, Tiyuh Kagungan Ratu Agung Gelar Pelatihan Peningkatan Kapasitas

Selasa, 16 Desember 2025 - 10:08 WIB

Pemkab Tubaba Bangun Ikon Baru di Kota Budaya Uluan Nughik 

Senin, 15 Desember 2025 - 18:09 WIB

Raimuna Cabang IV Pramuka Kwarcab Tubaba Resmi Dibuka 

Berita Terbaru

Celoteh

Tujuh Pejabat Baru, Ujian Sesungguhnya Baru Dimulai

Rabu, 24 Des 2025 - 12:20 WIB

Lampung

UMP Lampung 2026 Resmi Naik 5,35 Persen Jadi Rp3.047.734

Rabu, 24 Des 2025 - 11:46 WIB