Sejak KPK dibentuk tahun 2002, selama 14 tahun sampai 2016 Lampung masih mencatat cleansheet (lembaran bersih), tidak ada satupun kepala daerah yang terjerat kasus korupsi (dengan segala variannya) di lembaga itu. Sampai pertengahan 2016, mulai dari Aceh sampai Sumsel dan Bengkulu sudah puluhan kepala daerah yang ditangkap dan bermalam di Kuningan. Lampung seperti dilompati, KPK langsung menyeberang ke Banten dan Jabar.
Oktober 2016 catatan bersih selama 14 tahun itu berakhir, Bupati Tanggamus Bambang Kurniawan menjadi kepala daerah pertama dari Lampung yang menjalani pemeriksaan intensif dan dua bulan kemudian ditetapkan menjadi tersangka dan ditahan.
17 bulan setelah Tanggamus, publik dikejutkan dengan berita operasi tangkap tangan (OTT) yang berujung pada penetapan tersangka dan penahanan Bupati Lampung Tengah Mustafa. Pemberitaannya lebih ramai karena yang bersangkutan saat itu Ketua DPW Partai Nasdem, calon gubernur dan peristiwanya terjadi di tengah tahapan pilgub.
Hanya berselang lima bulan kita kembali dikejutkan dengan berita OTT terhadap Bupati Lampung Selatan Zainudin Hasan. Kegaduhan yang terjadi di lini media tidak kalah ramainya karena beliau Ketua DPW PAN, juga adik kandung tokoh nasional Ketua MPR-RI, Ketua Umum DPP PAN Zulkifli Hasan, yang kebetulan juga sedang digadang-gadang menjadi bakal calon wakil presiden dari partai yang dipimpinnya.
Saya sama sekali tidak memiliki kompetensi untuk mengomentari semua kasus itu dari pendekatan hukum. Saya hanya ingin mencermatinya dengan pengamatan awam kelas warung kopi, sesuai dengan rendahnya derajat pengetahuan saya.
Tiga peristiwa dalam 22 bulan terakhir mengakhiri penantian panjang publik Lampung selama 168 bulan sejak KPK lahir. Desas-desus tentang praktek kotor dalam pengelolaan anggaran publik di Lampung sepertinya sudah menjadi diskursus lama, bukan wacana baru yang baru diketahui publik 2-3 tahun ini saja. Sesuatu yang tadinya selama belasan tahun sudah hampir dianggap imajiner seketika menjadi faktual dengan tiga peristiwa itu. Ternyata yang dianggap kabar burung itu benar adanya, burungnya sudah pergi meninggalkan kabarnya kepada kita.
Ada pertanyaan yang menarik untuk dilamunkan; \”apakah penangkapan tiga kepala daerah itu menggambarkan perilaku koruptif di tubuh penyelenggara pemerintahan di Lampung baru sekedar sympton (gejala) atau sudah menjadi epidemic (wabah)?\”. Hemat saya jika ukurannya adalah jumlah yang ditangani oleh KPK, bisa jadi itu baru sekedar gejala. Tetapi jika kasus-kasus lain di Kejaksaan (baik yang sudah maupun sedang berlangsung) juga dihitung, saya kira kita bisa sependapat bahwa perilaku koruptif sudah mewabah di Lampung.
Wabah yang ternyata dapat melintasi beragam etnis dan budaya, melampaui batas ideologi partai politik, dan menembus sekat zaman. Hampir mustahil rasanya membayangkan teman-teman yang dua dekade lalu begitu kencang mengepalkan tangan meninju udara berteriak lantang soal perilaku koruptif Orde Baru, kini tergelincir ke lubang yang sama.
Dari sisi politik elektoral dan budaya politik, terdapat fakta-fakta yang cukup menarik pasca ketiga peristiwa itu.
Kita mulai dari fakta pertama: Dewi Handajani istri mantan Bupati Tanggamus Bambang Kurniawan masih dapat memenangkan Pilkada di Tanggamus dan Paslon Mustafa-Jajuli masih dapat memperoleh 24% suara dan menempati posisi kedua dalam Pilgub di Lampung Tengah. Apakah ini menunjukkan begitu kuatnya ikatan loyalitas yang terjalin antara mereka dengan pemilih atau memang rakyat kita yang cenderung permisif mudah mema\’afkan dan melupakan kesalahan pemimpinnya tentu memerlukan serangkaian penelitian yang lebih tajam.
Fakta kedua: walaupun mengalami kekalahan di Pilgub Lampung dan Pilbup Lampung Utara, PDI Perjuangan masih mampu menempatkan kadernya menjadi Bupati di Tanggamus dan memperoleh hibah jabatan Bupati di Lampung Tengah dan Lampung Selatan. Dengan semua perolehan itu saya kira 2018 menjadi tahun politik yang cukup baik bagi PDIP guna menghadapi Pileg dan Pilpres tahun depan.
Fakta ketiga: jumlah pemilih di empat daerah (Lamteng, Lamtim, Lamsel dan Balam) sudah lebih dari setengah jumlah pemilih seluruh Lampung. Ditambah Tanggamus dan Lampura, jumlah pemilih di enam daerah itu hampir 2/3 jumlah pemilih se-Lampung. Pilgub Lampung 2018 telah menunjukkan itu, kemenangan di enam daerah kunci itu menjadi penentu kemenangan dalam Pilgub. Apakah perubahan konfigurasi kepala daerah ini akan berdampak signifikan pada Pileg dan Pilpres 2019? April tahun depan kita akan mendapatkan jawabannya. Kekalahan Paslon yang diusung PDIP di semua daerah yang kepala daerahnya Kader PDIP (kecuali Kota Bandar Lampung) pada Pilgub kemarin layak untuk dijadikan catatan kaki.
Fakta keempat: ternyata ada juga 9 Naga di Lampung, walaupun tentu saja tidak memiliki hubungan apapun dengan 9 Naga dalam mitos cerita konglomerasi di tingkat nasional. Apakah pemilik perusahaan ini terinspirasi mitos itu? Wallahua\’alam bishowab. Bagi saya nama ini cukup menarik, menurut penuturan banyak pelaku usaha di bidang konstruksi, selama tiga tahun terakhir 9 Naga seperti bayi ajaib yang tumbuh begitu cepat menjadi pemain besar dalam kompetisi usaha pengerjaan konstruksi di Lampung. KPK tentu saja memiliki waktu dan sumber informasi yang lebih dari cukup untuk menelusuri sepak terjang dan daya jelajah mereka selama ini untuk menjawab berbagai spekulasi, termasuk spekulasi bahwa mereka hanyalah proxy (mewakili) pihak lain yang memiliki kekuatan finansial dan ingin melakukan pencucian uang.
Akhirnya mari kita semua bermunajat kepada Tuhan YME, Allah SWT, semoga tidak ada lagi kepala daerah di Lampung yang terjerat kasus korupsi. Tentu bukan karena KPK dan Kejaksaan yang berhenti bekerja, tetapi wabah itu mereda memang karena penyelenggara pemerintahan meninggalkan perilaku buruknya dan kembali menjalankan pola hidup sehat sesuai tuntunan agama dan sumpah jabatan mereka. Aamiin.