Bandarlampung (Netizenku.com): Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota (Pilwakot) Bandarlampung Tahun 2020 tanpa calon perseorangan.
Dua dua bakal pasangan calon (bapaslon) perseorangan, Firmansyah-Bustami Rosadi dan Ike Edwin-Zam Zanariah, gagal melaju ke Pilkada Bandarlampung.
Kedua bapaslon mengeluhkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang mewajibkan dalam setiap tahapan verifikasi mengedepankan Protokol Kesehatan Covid-19 sehingga menimbulkan kesulitan saat diverifikasi faktual.
Ditambah lagi adanya dugaan ketidaknetralan penyelenggara PPS/PPK yang menjadi Tim Verifikator karena rangkap jabatan sebagai RT/RW dan Kepala Lingkungan.
Menurut mantan Komisioner KPU Provinsi Lampung Handi Mulyaningsih, pemenuhan syarat dukungan calon perseorangan memang berat.
\”Pada tahun 2017 itu, kita ada Pilkada Tanggamus, Lampung Utara, calon perseorangan itu memang berat untuk pemenuhan dukungan itu. Kalaupun tidak ada Covid-19 juga, berat memang,\” kata Handi di Bandarlampung, Senin (14/9).
Namun, saat ini, pemenuhan syarat dukungan tersebut sudah dipermudah lewat Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Sebelum munculnya undang-undang tersebut, pemenuhan syarat dukungan berdasarkan jumlah penduduk, kemudian dipermudah dengan berdasarkan persentase dari jumlah penduduk.
\”Kalau sekarang sudah berdasarkan data pemilih tetap (DPT). Sebetulnya sudah dikurangi banyak dari persyaratan, tapi memang masih berat juga,\” ujar dia.
\”Sehingga ketika ada Covid-19 semakin berat juga, karena verifikasinya terkendala banyak hal, menurut saya perlu dievaluasi,\” lanjut Handi yang juga Dosen FISIP Universitas Lampung ini.
Pada 15 Juni 2020 pemerintah memutuskan melanjutkan tahapan pilkada setelah sempat dinyatakan ditunda akibat pandemi Covid-19.
Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Perundang-undangan (Perppu) Nomor 2 Tahun 2020 menggeser pelaksanaan pilkada serentak yang semula dijadwalkan pada 23 September menjadi 9 Desember.
\”Pemerintah dengan Perppu tetap melaksanakan pilkada di tahun 2020, artinya kan KPU harus mengikuti Perppu itu. Saya kira ya berat, tapi karena pemerintah juga sudah memutuskan lewat Perppu, ya apa boleh buat, berat bagi penyelenggara ya berat juga bagi peserta,\” katanya.
Metode pelaksanaan pilkada di tengah pandemik disesuaikan dengan kondisi wabah Covid-19. Termasuk verifikasi faktual dukungan pada tahap pertama secara sensus, by name by address, dan tahap dua dengan mengumpulkan pendukung di satu posko.
Seluruh tahapan verifikasi tetap mengedepankan Protokol Kesehatan Covid-19, sehingga ada juga yang dilakukan secara virtual lewat video call, tidak perlu tatap muka.
\”Tetapi juga tetap ada persyaratan, kalau tidak tatap muka, harus ada surat keterangan. Sebetulnya ada sesuatu yang clear, kalau tidak bisa tatap muka, ada surat keterangan. Kenapa enggak bisa datang pada verifikasi tahap kedua. Dikumpulkan kok enggak datang.\”
\”Saya kira karena peraturannya sudah dibuat seperti itu, berat tapi kita harus mengikuti,\” ujarnya.
Pelaksanaan pilkada dengan menerapkan Protokol Kesehatan Covid-19 juga sudah disosialisasikan kepada masyarakat lewat jajaran KPU dan Bawaslu hingga ke tingkat bawah PPS/PPK dan Pengawas Kelurahan, bahkan kepada para peserta pilkada melalui tim penghubung (LO) bapaslon.
Penyelenggara pemilu sudah melakukan sesuai norma-norma yang ada dalam melakukan sosialisasi.
\”Sepanjang yang saya tahu mereka sudah melakukan sosialisasi juga kepada peserta lewat LO mereka. KPU juga terbuka untuk sesuatu yang tidak jelas, untuk bertanya hingga jajaran ke bawah,\” katanya.
Namun Handi kembali menyampaikan bahwa penyelenggara adhoc, PPK/PPS, yang rangkap jabatan sebagai aparatur lingkungan; Ketua RT/RW, Kepala Lingkungan, sangat rentan akan penyimpangan, meskipun secara regulasi tidak dilarang.
Karena aparatur lingkungan pada masa pandemik menjadi perpanjangan tangan pemerintah dalam menyalurkan bantuan sosial kepada masyarakat terdampak Covid-19.
\”Saya kira itu juga bagian yang perlu dievaluasi oleh pemerintah. Saat sekarang ini kan sedang dilakukan upaya-upaya untuk memperbaiki regulasi,\” ujarnya.
RT/RW dan Kepala Lingkungan menjadi penyelenggara adhoc, PPS/PPK, karena mereka lebih memahami tentang data kependudukan setempat untuk pemutakhiran data pemilih.
Handi menilai banyak hal yang perlu diperbaiki terkait dengan pendidikan politik. Bagaimana sebetulnya, masyarakat bisa memberikan semacam partisipasi yang cerdas, bisa mencermati dan merespon situasi politik yang terjadi di lingkungannya.
\”Dan menurut saya, pendidikan politik juga tidak hanya kemudian pada masyarakat tapi juga bagaimana jajaran birokrasi pemerintah. Dari tingkat provinsi, kabupaten/kota, jajarannya turun ke kecamatan, sampai di kelurahan,\” katanya.
Aparatur lingkungan diharapkan bisa membedakan antara ranah politik dan layanan kepada masyarakat selaku aparatur pemerintahan, dan tidak boleh mencampuradukkan.
Apalagi berpihak kepada salah satu bakal calon dengan melakukan perbuatan yang menguntungkan atau merugikan pihak lain.
\”Fungsi pemerintahan yang baik itu mesti tetap dipegang teguh dan kemudian mereka mesti paham, ranah sebagai pemerintah yang memberikan pelayanan dan kemudian ada pihak-pihak yang memang, incumbent misalnya, atau siapapun yang sedang bekerja terkait dengan mau memperkenalkan dirinya, dan visi misinya kepada masyarakat, itu kan juga mesti diberikan pelayanan juga dengan baik.\”
\”Jadi mestinya imbang,\” tegas dia. (Josua)