Munculnya teror kepala babi tanpa telinga dan enam bangkai tikus dengan kepala dipenggal di kantor Tempo, tak ubahnya alarm tanda bahaya bagi pers di Indonesia.
(Netizenku.com): Berita tentang teror itu sudah beredar luas. Ada yang menanggapi secara serius, tak sedikit pula yang sinis. Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, menjadi orang di deretan terdepan yang berkomentar out of the box.
Sebab dari sekian banyak pihak yang menunjukkan empati dan simpati, Nasbi justru memperlihatkan sikap tanpa perasaan. Padahal, tidak bisa dipungkiri, sebagai Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, ada reputasi institusi negara yang melekat pada dirinya.
Belakangan ucapan tak berperasaan itu pun diralat olehnya. Terbetik kabar, ralat dikeluarkan Nasbi setelah mendapat evaluasi dari atasannya. Sungguh memprihatinkan.
Tanggapan bernada sinis lainnya juga meminta agar publik tidak terlalu membesar-besarkan insiden teror pada Tempo. Bahkan Tempo Media Grup disebut-sebut sebagai antek-antek asing, lantaran dianggap ada jejak Soros di balik MDIF (Media Development Investment Fund). Sosok Soros di negeri ini dikenal sebagai aktor intelektual atas terjadinya krisis moneter di Indonesia pada kurun waktu 1997-1998.
Kalau dicari tahu, sebenarnya sejak awal bekerja sama dengan MDIF, melalui anak perusahaan PT Info Media Digital pada Juli 2024 lalu, Tempo sudah mengumumkan ke publik. Artinya tidak ada yang dirahasiakan. Semua berlaku secara terbuka.
Kalau ditelusuri lebih lanjut, George Soros bukanlah satu-satunya pendonor atau investor di MDIF. Dalam laman MDIF juga gamblang tertera, sedikitnya ada 70 entitas dari berbagai negara yang turut memberi donasi atau berinvestasi di organisasi ini. Itu pertanda Soros bukan variabel utama di sana.
Dan perlu diingat, bukan hanya Tempo yang menerima pendanaan dari MDIF. Tercatat, ada empat organisasi media asal Indonesia yang ikut bekerja sama. Tapi mengapa hanya Tempo yang dibidik?
Untuk kian memahami konteksnya, perlu juga diketahui misi organisasi tersebut. MDIF diketahui sebagai lembaga yang aktif membantu negara-negara yang baru lepas dari belenggu otoritarianisme. Mereka menyediakan pendanaan berbiaya rendah, seperti pembiayaan utang.
Tujuannya tiada lain untuk membantu media independen yang hidup di tengah situasi sosial-politik yang penuh tekanan. Lantas apa yang keliru dari gerakan kepedulian ini? terlebih ketika tidak ada lembaga di dalam negeri yang punya perhatian serupa seperti MDIF. Tapi untuk sebuah maksud, tentu tak sulit untuk mencari-cari alasannya.
Segagah Apa Tempo?
Untuk menjawab pertanyaan ini, saya beranggapan perlu pembanding. Jangan tanggung-tanggung, referensi komparasinya saya ambil dari media-media di Negeri Paman Sam.
Seperti sudah dimafhumi bersama, Amerika Serikat dielu-elukan sebagai negara paling demokratis di muka bumi. Jangan ditanya perihal independensi dan kemerdekaan pers di sana. Media-media paling berintegritas konon banyak bercokol di negara adidaya tersebut.
Tapi siapa nyana kalau media-media kesohor di sana juga pernah “kicep” (menurut KBBI kicep yang merupakan serapan dari bahasa gaul memiliki arti; diam karena takut dan gelisah).
Dalam buku Mesin Penindas Pers yang disunting Kristina Borjesson, gamblang disebutkan kalau media-media besar di Amerika dalam satu fase pernah menjadi media “pecundang”. Sebab, tanpa disensor banyak pengelola media justru telah melakukan swa-sensor atas berita-berita yang mereka buat. Sikap pengecut itu secara sadar mereka lakukan tanpa ada intervensi dari pemerintah.
Fase gelap itu jelas terlihat pasca insiden 9/11 atau Peristiwa Selasa Kelabu. Ketika itu terdapat serangkaian empat serangan bunuh diri yang telah diatur terhadap beberapa target di New York City dan Washington, D.C. pada 11 September 2001.
Jurnalis Amerika seperti dihadapkan pada pilihan sulit. Memilih bersikap patriotisme atau menyajikan berita sesuai fakta sesungguhnya. Nyatanya, sebagian besar jurnalis dan media lebih menerima “dianggap sebagai seorang serdadu Bush ketimbang juru bicara Al-Qaidah”.
Perilaku kicep juga terlihat diterapkan para jurnalis dan media Amerika ketika dilangsungkan penyerbuan ke Irak. Amerika dan negara koalisi pendukung invasi ke Irak memakai isu Saddam Hussein sedang gandrung meracik senjata pemusnah massal. Meski hingga perang berakhir dan Saddam dieksekusi, tuduhan itu sulit dibuktikan kebenarannya.
Apakah jurnalis dan media di USA memberitakannya secara gamblang? Seorang eksekutif berita, wakil presiden eksekutif CNN Internasinal, Rena Golden, tanpa sungkan justru mengakui adanya swa-sensor secara masif. “Siapa pun yang mengklaim media AS tidak menyensor diri pasti bergurau. Masalahnya bukan tekanan pemerintah, tetapi keengganan mengkritik sebuah perang yang jelas-jelas didukung mayoritas masyarakat,” terangnya.
Dalam hal ini Golden menyalahkan masyarakat Amerika sebagai penyebab wartawan tidak mau melaksanakan tugasnya. CNN menduga, khalayak pemirsa memang tidak menginginkan peliputan yang kritis. Publik, masih menurut Golden, justru sedang menginginkan pemandu sorak.
Jadi, itulah yang mereka dapatkan. Sebab, menyediakan peliputan yang sedikit atau tidak ada peminatnya, itu buruk buat rating dan buruk buat bisnis (media). Dengan kata lain, jurnalis dan media Amerika (pernah secara masif dan dengan kesadaran diri) mengorbankan integritas jurnalistik demi memberikan khalayak pemirsa apa yang mereka “inginkan”.
Hebatnya, saya harus katakan ini dan setidaknya hingga saat ini, Tempo menjadi satu-satunya (sependek yang saya tahu) sebagai media di Indonesia yang tidak pernah mau kicep jika itu menyangkut kebenaran data dan fakta, apapun risikonya.
Apakah nilai-nilai baik yang dimiliki Tempo -bahkan para jurnalis serta banyak media besar di Amerika sekalipun terbukti pernah tidak konsisten menjaga integritas pers- layak dibiarkan dikoyak-koyak oleh teror pengecut seperti yang kita lihat sekarang?
Dan kurang hebat apa daya tahan Tempo dalam sepanjang perjalanan jurnalistiknya, bila dibandingkan media-media lain di banyak tempat di negeri ini yang sudah bersedia swa-sensor atau malah kicep tanpa perlu dikirimi kepala babi dan bangkai tikus. Sebab teror sesungguhnya bisa pula bersalin rupa melalui kiriman amplop, misalnya.(*)