Oleh: Iwa Perkasa
Konfigurasi calon tunggal versus kotak kosong dalam Pilkada Serentak 2024 berpotensi terjadi di berbagai daerah. Dari gejala yang tampak dan terasa, konfigurasi tersebut diskenariokan oleh segelintir elit parpol di Jakarta. Dan cilaka! Di Pilkada Lampung, Herman HN diduga telah menjadi korbannya. Ia tidak direstui oleh elit DPP NasDem. Semenjak itu merebaklah isu kemungkinan calon tunggal melawan kotak kosong. Herman tidak suka. “Kasihan rakyat,” katanya.
Sementara di Jakarta, Anies Baswedan hampir sempurna gagal nyalon, meski masyarakat di ibukota mendambakannya. Anies yang selama ini dekat dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) harus rela berpisah dengan partai pemilik kursi terbanyak di DPRD DKI Jakarta tersebut.
Kabar terakhir menyebutkan PKS memilih bergabung dengan Koalisi Indonesia Maju (KIM) plus yang sepertinya sepakat mengusung Ridwan Kamil (RK).
Bila konfigurasi yang di-setting oleh elit parpol di Jakarta benar-benar terjadi, maka berpotensi melahirkan konfigurasi baru: Kotak Kosong versus Ngotak Kosong.
Begini penjelasannya.
Kotak kosong dimaksud di sini adalah bukan calon peserta Pilkada, tetapi kotaknya dicetak di kertas suara. Tidak ada gambar dan nama pasangannya, tetapi pemilih berhak menyoblosnya.
Karena bukan peserta, kotak kosong tidak ikut berkampanye formal dan tidak punya saksi di semua tingkatan. Oleh sebab itu, keakuratan perolehan suara Kotak Kosong, sangat ditentukan oleh integritas dan kejujuran penyelenggara, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Meski tidak berkampanye, dukungan atau ajakan untuk memilih kotak kosong melalui banyak sarana (media sosial misalnya), dapat dilakukan masyarakat baik secara sendiri-sendiri atau berkelompok. Silakan saja, mumpung KPU belum mengaturnya.
Sedangkan Ngotak Kosong dimaksud di sini adalah calon peserta Pilkada dengan asumsi disokong powerful oleh elit di Jakarta (bukan didukung akar rumput di daerah). Gambar dan nama pasangannya dicetak di kertas suara. Pun pemilih berhak menyoblosnya.
Calon Ngotak Kosong dapat berkampanye dan menerjunkan banyak saksi di semua tingkatan. Oleh sebab itu, akurasi perolehan suaranya lebih terjamin hingga rekapitulasi akhir di Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Untuk menang, calon tunggal yang melawan kotak kosong wajib memperoleh lebih dari 50 persen suara sah, kecuali karena kepentingan tertentu, lalu KPU mengubahnya.
Problemnya, calon peserta yang diskenariokan menjadi calon tunggal kerap menjadi jumawa. Larut dalam euforia dan merasa bakal menang mudah. Calon tunggal yang tidak didukung akar rumput (Ngotak Kosong), berpotensi kalah. Bahkan, bisa kalah memalukan dan sangat menyakitkan. Calon ngotak kosong akan dikalahkan oleh suara rakyat.
Fenomena ini pernah terjadi pada Pemilihan Walikota Makassar, Sulawesi Selatan tahun 2018 lalu. Kala itu, Kotak Kosong menang melawan Calon Tunggal pasangan Munafri Arifuddin dan Andi Rachmatika Dewi (Appi-Cicu).
Munculnya kotak kosong di Makassar setelah Mahkamah Agung (MA) mencoret pasangan Mohammad Ramdhan Danny Pomanto dan Indira Mulyasari (DIAmi) dari kepesertaan Pilwalkot Makassar karena masalah hukum.
Peristiwa itu pertama kali terjadi di Indonesia, namun membekas dan menjadi sejarah penting dalam dinamika politik di Indonesia.
Kemenangan kotak kosong tidak bisa dipandang sekedar peristiwa aneh tapi nyata. Kotak Kosong dalam perkembangannya dapat menjadi sarana perlawanan terhadap sifat monopolistik kekuasan yang di-setting oleh segelintir elit di Jakarta.
Silakan timbang-timbang pilihan Anda.
Pilih kotak kosong atau pilih calon Ngotak Kosong!