Bagi warga Lampung rangkaian tiga huruf \’SGC\’ bukan hal asing lagi. Malah bisa dibilang sudah cukup familiar di telinga. Itu, mungkin, lantaran akronim dari Sugar Group Companies ini, kerap disebut-sebut oleh publik.
Ironisnya, penyebutan itu tidak melulu menyangkut produk gula yang mereka hasilkan dari penguasaan ladang tebu nan lebar di Bumi Lampung. Bahkan saking lebarnya, penulis kerap bertanya selebar apakah kebun SGC itu?
Uniknya, atau malah lebih tepat disebut anehnya, pertanyaan serupa itu kerap ramai dilontarkan banyak kalangan menjelang hajatan demokrasi pemilihan gubernur di Lampung. Penulis lagi-lagi bertanya, mengapa fenoma demikian bisa terus berulang?
Pada Pilgub 2014 silam, misalnya, pamor SGC sepertinya malah lebih seksi menjadi buah bibir ketimbang nama-nama pasangan calon (Paslon) peserta Pilgubnya itu sendiri. Entah karena ketenaran itu lantas menggugah akun Twitter Triomacan2000 untuk menggelontorkan sederet koreksi terhadap SGC yang kemudian menggelinding menjadi bola panas, atau malah sebaliknya cuitan akun yang belakangan bermasalah dengan hukum itu, yang menyulut kegaduhan.
Namun bisa dibilang kala itu tematik ini cukup menjadi perbincangan hangat di banyak kalangan. Termasuk di ranah politik yang masih sangat kental dibekap nuansa perseteruan antarkubu paslon peserta pilgub. Penulis kembali bertanya, mengapa kalangan elite politik Lampung sangat menaruh perhatian terhadap SGC, dan apa kaitan perusahaan tersebut dengan urusan perpolitikan atau bahkan pemilihan gubernur di Lampung?
Menariknya, ribut-ribut soal SGC itu, kembali meruyak menjelang pilgub 27 Juni tahun ini. Tematik yang diangkat pun relatif tidak bergeser dari pertanyaan-pertangaan lawas. Intinya perihal seberapa luas penguasaan lahan yang dipinjamkan negara secara sah kepada konglomerasi yang satu ini. Lagi dan lagi penulis kembali bertanya, mengapa pertanyaan sesederhana itu seakan mahal untuk dijawab. Apa karena memang rumit buat dijawab, serumit apa?
Mengapa negara, yang diwakili oleh BPN (Badan Pertanahan Nasional) dan pemerintah daerah, terkesan enggan menguak tabir data sesungguhnya. Sehingga kegaduhan yang seakan telah menjadi laten terus hidup dan berulang setiap periode tersebut, dapat segera reda. Bukankah pemerintah biasanya paling alergi bila ada kegaduhan, sampai-sampai pucuk pimpinan negara ini acapkali mengimbau untuk jangan selalu membikin gaduh.
Tapi agaknya khusus untuk kasus ini diperlakukan pengecualian. Potensi kegaduhan itu seakan dibiarkan atau malah sengaja diulur-ulur untuk tidak ditanggapi, sambil berharap seiring waktu dan melewati masa pilgub, kegaduhan musiman itu bakal mereda dengan sendirinya.
Kalau memang benar dugaannya demikian, agaknya memang ada benarnya juga sikap \’tutup mulut\’ yang dipertontonkan pihak-pihak terkait tersebut. Sebab kalau belajar dari pengalaman pilgub 2014 lalu, usai pesta demokrasi digelar, memang segera surut juga kegaduhan soal SGC.
Kalau ini memang sudah menjadi modus \’lagu lama diremake pada CD baru\’ lantas apa sesungguhnya kaitan antara SGC dengan perhelatan Pilgub Lampung? Kalau jawaban pastinya pun masih sulit buat disodorkan, penulis punya satu kepastian; gula SGC memang manis, bahkan teramat manis. (Hendri Std)