Di Lampung Barat, janji tidak datang sendirian. Ia turun beriringan, bersama rombongan, bersama kamera, bersama harap yang sudah lama menunggu giliran.
Lampung Barat (Netizenku.com): Di hadapan petani holtikultura, Gubernur bicara tentang harga sayur yang naik-turun seperti perasaan jelang panen. Katanya, ke depan tak boleh lagi sayur dari luar masuk. Kata “tak boleh” diucapkan tegas, meski angin pegunungan tahu, pasar sering lebih bandel dari perintah.
Petani mendengar. Ada yang mengangguk, ada yang diam. Di ladang, mereka sudah terbiasa menanam lebih dulu, berharap belakangan. Janji itu seperti pupuk: tak langsung terlihat hasilnya, tapi selalu diharapkan bekerja di bawah tanah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Janji kedua menyusul, soal pabrik pengolahan gabah. Kata “akan” kembali jadi tokoh utama. Akan dibangun, akan mendukung, akan meningkatkan. Kata itu berdiri gagah, meski kita tahu, ia sering kepayahan saat harus berjalan sendirian melewati anggaran, birokrasi, dan waktu.
Dari Pekon Tanjung Raya, rombongan bergerak naik. Dari obrolan perut ke obrolan puncak. Dari sawah ke kabut. Bukit Embun menyambut dengan dingin yang jujur—tak dibuat-buat, tak pakai baliho. Selendang celugam dikalungkan, tanda hormat, tanda adat masih bekerja meski dunia terus berlari.
“Kalau begini, pengin lama-lama,” celetuk seseorang sambil menarik jaket.
Dingin memang sering membuat orang ingin berhenti sejenak. Politik jarang.
Di tengah kabut, obrolan mengalir. Gubernur menatap tenda-tenda yang berjajar rapi, lalu bertanya, “Ini sudah berapa lama, Pak?”
“Insyaallah, mau dua tahun,” jawab Suparman, pemilik Bukit Embun.
Bupati Parosil Mabsus langsung menyela, dengan nada yang setengah bercanda setengah percaya diri,
“Pak Gubernur ini datang ke sini tanpa diminta. Artinya apa? Wiridannya Pak Suparman tembus. Doanya sampai. Ini berkah untuk kita semua.”
Gubernur tertawa kecil. “Saya ini cuma lagi scroll. Jari yang kerja duluan. Eh, berhenti di Bukit Embun. Ya sudah, kita ke sini.”
Scroll jempol hari ini, bisa jadi kebijakan besok hari. Begitulah zaman bekerja.
Parosil menimpali lagi, “Ini kalau dipoles serius, Pak, Lampung Barat bisa jadi etalase wisata. Orang datang bukan cuma foto, tapi tinggal. Ngopi. Belanja. Petani juga kebagian rezeki.”
Petani kembali disebut. Kali ini bukan soal harga, tapi soal peluang.
Gubernur mengangguk. “Betul. Alamnya sudah jadi. Tugas kita jangan merusak, jangan setengah-setengah. Provinsi, kabupaten, desa harus satu napas. Kita dorong ke pusat. Pariwisata ini bukan cuma soal pemandangan, tapi soal perut rakyat juga.”
Perut kembali hadir dalam percakapan, meski malam mulai dingin.
Kopi robusta dihidangkan. Hangatnya singkat, tapi cukup untuk membuka mimpi besar.
“Kita ingin Lampung jadi tujuan wisata utama,” ujar Gubernur.
Parosil tersenyum, “Kalau tamunya datang, Pak, yang jangan lupa jalannya. Wisatawan senang, petani senang, pedagang senang. Pemerintah tinggal memastikan janji ikut datang, jangan cuma tamu.”
Kabut makin tebal. Tenda-tenda jadi rumah sementara. Malam menutup acara tanpa tepuk tangan, hanya suara alam dan obrolan kecil yang tersisa.
Petani pulang dengan janji di kepala. Bukit menyimpan cerita di dadanya. Pabrik gabah masih berupa rencana, larangan sayur luar masih berupa wacana. Sementara kabut, sekali lagi, bekerja paling konsisten: datang tepat waktu, menyelimuti tanpa janji, lalu pergi tanpa pamit.
Di Lampung Barat, harapan kembali ditanam. Kita hanya perlu memastikan, kali ini, ia benar-benar tumbuh. (*)








