Pringsewu (Netizenku.com): Kejaksaan Negeri Pringsewu telah melaksanakan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif (Restorative Justice) yaitu terhadap perkara Penganiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 351 Ayat (1) KUHP An Tersangka dengan insial FH dengan ancaman pidana maksimal selama 2 tahun dan 8 bulan penjara.
Kepala Kejaksaan Negeri Pringsewu Ade Indrawan, SH melalui Kasi Intelijen I Kadek Dwi A, SH., MH menjelaskan, penghentian perkara pidana berdasarkan keadilan restoratif tersebut dilakukan oleh Kejari Pringsewu setelah tercapainya perdamaian antara korban dan tersangka yang diinisiasi dan difasilitasi oleh Kejari Pringsewu dan adanya persetujuan untuk dilakukan penghentian penuntutan oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung RI melalui sarana video conference pada hari Selasa tanggal 16 Mei 2023 yang kemudian ditindaklanjuti dengan penerbitan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) oleh Kajari Pringsewu berdasarkan keadilan restorasi.pada hari Rabu (17/05) di ruang kerjanya.
Ia menambahkan peristiwa pidana penganiayaan tersebut bermula pada hari Rabu tanggal 12 Januari 2023 saat Tersangka FH membaca komentar Saksi Korban RA pada postingan status akun Facebook milik Saksi IP yang pada pokoknya terkait perihal hutan-piutang, sehingga Tersangka FH merasa sakit hati lantaran tersinggung atas komentar Saksi Korban RA tersebut, kemudian sekira pukul 13.30 wib Tersangka FH mendatangi rumah Saksi Korban RA dan terjadi cekcok mulut yang berbuntut adanya penganiayaan oleh Tersangka FH kepada Saksi Korban RA dengan cara mencakar leher sebelah kanan dan menonjok perut Saksi RA.
Lalu Saksi Korban RA melaporkan peristiwa penganiayaan tersebut kepada pihak Polsek Pringsewu Kota, setelah berkas perkara tersebut dinyatakan lengkap (P-21) lalu pada tanggal 3 Mei 2023, Penyidik menyerahkan Tersangka dan Barang Bukti kepada Pihak Kejaksaan Negeri Pringsewu, dengan adanya pertimbangan dari Penuntut Umum bahwa perkara tersebut layak untuk dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restorasi sebagaimana ketentuan Peraturan Kejaksaan RI No. 15 tahun 2020 yaitu Tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana dan ancaman pidana dibawah 5 tahun penjara.
“Sehingga pada hari dan tanggal yang sama Penuntut Umum mengundang Saksi Korban RA untuk hadir ke Kantor Kejari Pringsewu guna dimediasi sehingga Saksi Korban RA dengan berbesar hati bersedia memaafkan perbuatan Tersangka FH serta bersedia melakukan kesepekatan perdamaian tanpa syarat apapun,” tuturnya.
Lanjutnya, penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restorative merupakan penegakan hukum yang pendekatannya mengutamakan pemulihan dan rekonsiliasi antara pelaku dan korban, serta memperhatikan aspek perbaikan social, sehingga memberikan ruang kepada korban untuk aktif terlibat dalam proses penyelesaian perkara diluar persidangan karena telah memaafkan perbuatan pelaku.
“Selain itu pendekatan ini juga mendorong pelaku untuk mengambil tanggung jawab atas perbuatannya dan berusaha memperbaiki dampak yang ditimbulkan, sehingga diharapkan pelaku harus lebih bertanggung jawab dan mencegah terulangnya tindakan kriminal di masa depan,” ujarnya.
Disisi lain, manfaat penghentian perkara berdasarkan keadilan restorasi dapat mengurangi beban sistem peradilan pidana. Dengan memprioritaskan pemulihan dan rekonsiliasi, proses pengadilan tradisional yang panjang dan biaya yang tinggi dapat dihindari.
Namun demikian, keadilan restorasi bukanlah pendekatan yang tepat untuk setiap kasus kejahatan. Dalam beberapa kasus yang melibatkan kekerasan serius atau kejahatan berat lainnya, proses pengadilan tetap diperlukan.
“Keputusan mengenai penghentian perkara berdasarkan keadilan restorasi haruslah mempertimbangkan sifat kejahatan, kepentingan korban, dan keadilan secara keseluruhan,” ungkapnya. (Rz/Len)