Ternyata koreksian kawan tadi terhadap saya belum juga tuntas. Dia minta agar saya jangan kolot dan segera buka mata bahwa apa pun idealisme yang diusung, media ya tetap saja media, sebagai sebuah lembaga bisnis.
Maka pendekatan pengelolaannya harus tak-tis. Atau elastis mirip karet, gampang mulur mengkuret. Piawai beradaptasi. Jangan kaku menyamai besi tua yang kalau dibengkokkan sedikit saja fatal bakal langsung patah.
Entah kenapa saat dia sembur saya dengan serentetan ocehan itu, saya seakan terpaku. Otak saya beku, lidah saya kelu. Saya mirip murid yang kepergok guru sedang merokok di kamar kecil sekolah dan digurui habis-habisan. Atau jangan-jangan saya tersihir oleh ucapan dia yang semuanya nyaris benar. Sialan!
Ujung-ujungnya kawan saya itu mengakhiri wejangannya sambil berucap, beberapa hari kedepan dia akan kontak saya. Menurutnya saya akan dibawa menemui seseorang. Pertemuan itu ada kaitannya dengan media saya dan Pilgub Lampung.
Ternyata dia menepati janji, buktinya pagi ini dia benar-benar menelepon saya. Tak sabar kiranya, siapa gerangan sesungguhnya \’orang\’ yang dia sebut kemarin lusa akan dipertemukan dengan saya. Tapi untuk menanyakan to the poin ke kawan saya itu, masih ada tembok gengsi yang menghalangi saya. Saya hanya bisa menunggu….siapakah?
Akhirnya persoalan inti yang dinanti terkuak juga. Kawan saya bilang, orang yang dimaksud adalah \’ring satu\’ dari salah satu paslon. Sayangnya dia belum besedia menyebut identitas orang tersebut. Dia bilang biar nanti saya kenalan langsung dengan orang yang dimaksud. Malah dia juga bilang sesungguhnya orang itu sudah mengenali saya. Tak pelak saya makin tambah bingung, atau tepatnya makin penasaran dibuatnya.
Saat saya tanya apa agenda dari pertemuan itu, teman saya lagi-lagi bilang. Saya dan media saya harus bantu paslon yang jadi majikan orang itu. Pokoknya buat sebanyak-banyaknya good news. Jangan tanya apakah nanti bakal menjadi tindak pembohongan publik atau berita bullshit. Yang penting giring opini publik biar para pemilih yakin Paslon yang mereka usung adalah manusia setengah dewa.
Sebagai imbalan dari perjuangan itu akan ada semacam MoU sebagai kompensasi atas kerjasama yang telah terjalin.
Lalu nanti bila paslon \’pengantin\’ ternyata sukses naik pelaminan, bakal menyusul gelontoran bonus lain. Bahkan semua awak media yang selama ini sudah \’merapat\’ ke kubu mereka, juga akan diberi hadiah berlibur sebagai puncak perayaan kemenangan. Tidak tanggung-tanggung, para wartawan akan diberangkatkan ke mancanegara atau malah diumrohkan secara gratis. Menggiurkan bukan? Goda kawanku itu.
Dia minta saya tidak perlu banyak berpikir dan segera ucap yes! Kalau memang saya deal, dia akan datang ke rumah menjemput saya untuk kemudian disorongkan kehadapan orang \’misterius\’ yang dia ceritakan tadi.
Tapi belum sempat saya ambil keputusan, sebuah tangan terasa sedang mengguncang-guncang bahu saya. Memang gerakannya pelan saja, tapi cukup membuat saya geragapan.
\”Papa bangun. Pa….itu di teras ada orang percetakan. Katanya mau nagih ongkos cetakan koran papa yang sudah nunggak dua Minggu. Temuin dulu deh, walau papa belum pegang duitnya. Dijelasin Pa, siapa tahu dia bisa maklumi,\” ujar istri saya setelah melihat saya terbangun dari lelap tidur.
Ha….tidur? Jadi tadi semua cerita panjang tentang kawanku itu hanya sekadar bunga tidur. Oalah….kenapa pula saya bisa memimpikan dia. Mengapa juga ada jalinan cerita soal media dan dukungan ke paslon.
\’Papa!\” Sergah istri saya, yang kali ini benar-benar membetot kesadaran saya untuk segera beralih ke alam nyata. Ya pada sebuah realita tersengal-sengal mengongkosi cetak koran. Di saat itulah sempat berkelebat sebuah gagasan.
Apakah saya harus mencari paslon yang mau diajak bermitra? Siapa tahu gayung bersambut, dan tawaran indah seperti dalam mimpi saya tadi terwujud. Tapi paslon mana yang berkenan? Hmmm….. (Hendri Std)
Halaman : 1 2