Aroma perubahan mulai teras di hamparan ladang singkong di Lampung. Si umbi yang selama ini hanya dikenal sebagai sumber pangan pendukung (bukan utama), pelan-pelan menapaki takdir baru, menjadi sumber energi yang bisa menggerakkan masa depan. Dari satu ton singkong, tersimpan potensi 180 hingga 200 liter etanol, energi cair yang nilainya bisa mencapai Rp1,8 hingga Rp2 juta per ton. Nilai ini dua kali lipat dibanding jika dijual mentah. Bila industri etanol tumbuh, harga di tingkat petani pun bisa naik ke kisaran Rp1.400–1.600 per kilogram, menghadirkan napas segar bagi jutaan keluarga petani di Lampung.
Lampung sejatinya memiliki semua prasyarat untuk melangkah lebih jauh. Lahan yang luas, industri tapioka yang tersebar di berbagai kabupaten, serta infrastruktur jalan dan pelabuhan yang kian baik membuat provinsi ini layak menjadi pusat energi hijau berbasis pertanian. Bila hanya sepuluh persen dari produksi singkong diolah menjadi etanol, nilai tambahnya bisa melampaui Rp1 triliun per tahun, sebuah angka yang bukan hanya menggerakkan ekonomi daerah, tetapi juga memperkuat daya tahan fiskal dan kesejahteraan masyarakat.
Narasi itu bukan omong kosong, justru cerdas dan realistis. Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal dalam Rapat Percepatan Investasi Bioetanol bersama Wakil Menteri Investasi Todotua Pasaribu dan Menteri Koperasi serta UKM Ferry Juliantono di Jakarta beberapa waktu menyatakan siap gaspol menggarap potensi itu.
Dalam forum itu, Mirza menegaskan bahwa Lampung telah menyiapkan ratusan ribu hektare lahan untuk pengembangan bahan baku bioetanol dari singkong, tebu, hingga jagung. Lampung “rajanya” tiga komoditi tersebut. Lampung merupakan produsen utama singkong nasional, peringkat kedua untuk tebu, dan ketiga untuk jagung. Namun, sebagian besar potensi itu masih tertahan di hulu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Kami sudah memiliki dua perusahaan etanol yang beroperasi, tetapi serapannya terhadap hasil pertanian lokal masih kecil. Akibatnya, pasokan melimpah di tingkat petani dan harga menjadi tertekan. Karena itu, keterhubungan industri bioetanol ini menjadi penting,” ujar Mirza.
Dari sisi pusat, dukungan datang bertubi. Menteri Koperasi dan UKM Ferry Juliantono menilai koperasi petani dapat menjadi tulang punggung rantai pasok bioetanol nasional. Dengan koperasi, energi terbarukan bisa tumbuh dari bawah, dari tangan-tangan petani sendiri.
Sementara Wakil Menteri Investasi Todotua Pasaribu menyebut Indonesia kini memasuki era bahan bakar E10, campuran 10 persen etanol dalam bensin, dengan potensi pasar domestik mencapai 3–4 juta kiloliter per tahun. Dukungan dari industri otomotif juga kian nyata. PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia, misalnya, menyatakan kesiapannya terlibat dari hulu hingga hilir untuk memastikan pasokan bahan baku bioetanol tetap terjaga.
Tantangan dan Efek Positif Ke-ekonomian
Tantangan terbesar memang ada pada sisi biaya. Harga produksi etanol lokal dari singkong atau tebu saat ini berkisar Rp9.000–11.000 per liter, sedikit lebih tinggi dibanding etanol impor dari Brasil atau Amerika Serikat yang berada di kisaran Rp6.000–7.000. Namun jika dilihat dari dampak nasional, etanol lokal jauh lebih efisien. Ia menghemat devisa impor energi, membuka lapangan kerja di desa, dan menggerakkan ekonomi lokal. Bahkan bila dicampur dengan bensin, pengaruhnya terhadap harga di SPBU nyaris tak terasa. Jika bensin Rp10.000 per liter dan etanol Rp11.000, campuran E10 hanya akan naik menjadi sekitar Rp10.100, cuma naik “cepek” atau satu persen yang bisa diimbangi lewat mekanisme harga patokan atau subsidi silang.
Yang justru perlu diwaspadai adalah gelombang etanol impor murah yang bisa menekan produksi dalam negeri. Karena itu, pemerintah perlu memberi proteksi yang memadai, dari kewajiban Pertamina menyerap etanol lokal lebih dulu hingga pengenaan bea masuk impor, agar industri bioetanol di daerah tidak mati sebelum tumbuh.
Pada akhirnya, rendahnya harga singkong selama ini bukan karena petani berproduksi terlalu banyak, melainkan karena nilai tambahnya berhenti di ujung cangkul. Selama singkong dijual mentah, nilainya akan selalu rendah. Tapi ketika diolah menjadi energi, nilainya berlipat, pasarnya stabil, dan kesejahteraan bisa menetes ke bawah. Melalui hilirisasi bioetanol, semua pihak diuntungkan. Petani mendapat harga lebih baik, daerah memperoleh pendapatan tambahan, negara menghemat devisa, dan masyarakat melangkah menuju energi bersih.
Lampung kini berada di garis depan perubahan itu. Dengan dukungan pemerintah pusat dan semangat daerah yang kuat, provinsi ini berpeluang menjadi pionir energi hijau berbasis rakyat. Etanol singkong bukan hanya bahan bakar alternatif, tapi lambang kemandirian baru, bahwa dari ladang-ladang rakyat, bangsa ini mampu menyalakan api masa depan dengan energinya sendiri. Di masa depan, ubi bukan lagi sekadar pangan rakyat, melainkan sumber energi, harapan, dan kebangkitan ekonomi Lampung.***








