Hehehe … Lampung Barat ini ya, setiap bulan kayak nerbitin season baru sinetron absurd.
Cuma bedanya, kalau sinetron tayang di TV jam tujuh malam, ini tayangnya di dunia nyata, dan pemerannya 42 kepala sekolah yang entah kenapa merasa hidupnya sedang ikut giveaway kebodohan berhadiah penyesalan.
Lampung Barat (Netizenku.com): Ceritanya? Ya standar. Oknum datang, ngaku-ngaku orang kementerian, bawa proposal tebal kayak tumpukan skripsi mahasiswa yang ngeluh tapi nggak lulus-lulus.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Bilangnya, “Ini dana revitalisasi. Setor 1 persen dulu ya”.
Dan 42 kepala sekolah ini langsung percaya.
BUSET…
Kepercayaan mereka tuh kayak wifi tanpa password, siapa aja bisa masuk, bahkan yang bawa niat tidak jelas.
Ini kepala sekolah atau simpatisan MLM tersesat?
Kalau ada orang ngomong halus, langsung, “WAAAH INI NIH REZEKI DI PENGHUJUNG TRIWULAN!”
Padahal 1 persen itu kecil sih kecil, tapi efeknya maha dahsyat. Angka 1 persen ini berhasil menghancurkan 42 otak dengan fitur skeptis OFF. Sungguh prestasi.
Kalau dikumpulkan, duit 1 persen dari 42 kepala sekolah itu sudah bisa bikin usaha bakso revitalisasi cabang 3 benua, lengkap dengan hadiah kupon:
“Makan 10 mangkok, dapat brosur modus penipuan terbaru.”
Dan yang paling absurd:
“Mereka pakai uang pribadi.”
Weh … mantap.
Baru tau saya, ternyata kepala sekolah zaman sekarang punya keahlian. Transfer dulu, mikir belakangan.
Padahal orang normal kalau keluar duit pribadi itu minimal ada ritual:
- Ciri-ciri mencurigakan,
- Bisik-bisik batin,
- Tanya grup WA alumni,
- Cari tanda-tanda alam,
- Cek Google,
- Baru bayar.
Lah ini?
Kayak lihat flash sale jam 12 malam—langsung beli, besok baru sadar, “Loh kok isinya cuma angin?”
Sebagai kepala sekolah, mestinya mereka itu koki utama logika di sekolah, yang ngajarin murid cara berpikir kritis.
Tapi begitu ada oknum ngaku kementerian, logika mereka auto hilang kayak sendal jepit pas shalat Id.
Mungkin selama ini mereka stres gara-gara wacana efisiensi anggaran, jadi begitu ada yang janjiin proyek, langsung ngegas.
“Aku ikut! Demi menyelamatkan gaji masa depan!”
Terus soal Bupati…
Pak Bupati, selamat ya, anda dapat hadiah besar. 42 orang untuk diurus sekaligus.
Jumlah itu kalau dinilai dengan ukuran antrean pemerintahan, sudah seperti hari pertama PPDB: panjang, ribut, dan penuh wajah penyesalan.
Bapak pasti pusing mikir, “Kepala sekolah kok mudah sekali percaya orang asing?”
Karena biasanya musuh pendidikan itu adalah bullying, narkoba, putus sekolah.
Eh ini muncul musuh baru, janji manis 1 persen, dan alasan “ada aktor intelektual”.
Heh, udah jelas itu cuma shield buat nutupin kenyataan pahit.
Yang bener adalah:
Mereka ngiler.
Mereka tergoda.
Mereka FOMO.
Takut ketinggalan proyek, takut teman-temannya dapat, takut sekolah mereka nggak ikut revitalisasi.
Kalau jujur mungkin dialognya kayak gini:
“Kenapa setor?”
“Ya siapa tahu bener … kan lumayan kalau dapat proyek.”
Nah, ini dia bumbu utamanya, ngarepin untung cepat, logika jadi lemot.
Kalau diumpamakan logika mereka, sudah bukan lemot lagi … itu buffering seumur hidup.
Saya bayangin murid-murid melihat berita ini sambil geleng-geleng.
“Pak … Bu … bukannya Bapak/Ibu yang ngajarin kami soal kehati-hatian? Kok gampang banget klik transfer?”
Gila nih.
Bisa-bisa nanti ada pelajaran baru: Literasi Digital untuk Kepala Sekolah – Modul Anti Ketipu 101.
Dan tolong ya, lain kali kalau ada program pemerintah model “setor dulu”, itu udah jelas bukan program revitalisasi, tapi program Revitalisasi Dompet Oknum + Revitalisasi Penyesalan Massal.
Lain kali, jangan langsung percaya. Bener-bener dicek dulu. Kalau perlu, ceknya sampai tiga babak: cek surat, cek kementerian, cek akal sehat.
Kalau akal sehat tidak tersedia, ya jangan transaksi dulu.
Karena kasihan murid-murid, nanti mereka bilang, “Pak, Bu… ini kan gampang banget dicek… tinggal browsing aja”.
Aduh, sedih.
Generasi penerus lebih paham daripada pemimpin sekolah.
Akhir kata, semoga kejadian ini jadi titik balik untuk revitalisasi nalar, revitalisasi logika, revitalisasi radar penipuan, karena kalau 42 kepala sekolah bisa kompak ketipu, itu bukan insiden, itu festival ketidakhati-hatian tingkat kabupaten. (*)








