Bandarlampung (Netizenku.com): KPU RI kembali menggelas Webinar Desa Peduli Pemilu dan Pemilihan Seri Kelima: Teknik dan Metode Identifikasi Berita Hoaks Dalam Pemilu dan Pemilihan, Jumat (8/10).
Ketua KPU RI Ilham Saputra ketika membuka webinar menyampaikan berita hoaks yang sampai di masyarakat berisiko menurunkan tingkat kepercayaan kepada penyelenggara pemilu yang bisa mempengaruhi partisipasi masyarakat.
“Ketika Pemilu 2019 lalu, banyak hoaks yang diberitakan kepada masyarakat terutama tentang penyelenggara pemilu. Dari kotak suara dianggap kardus, surat suara dari Cina beribu-ribu kontainer yang sudah dicoblos, dan soal SITUNG yang akan memenangkan pasangan calon 62 persen,” kata dia.
Ilham Saputra berpesan kepada KPU Provinsi maupun KPU Kabupaten/Kota serta kader Desa Peduli Pemilu dan Pemilihan, untuk bisa membantu KPU RI menangkal hoaks lewat media elektronik dan media sosial agar cepat diserap masyarakat.
Webinar seri kelima ini menghadirkan Dosen FISIPOL Universitas Gadjah Mada (UGM) Abdul Gaffar Karim, Plt. Ketua KoDe Inisiatif Violla Reininda, Ketua Umum Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Sasmito, dan Kasubdit II Dittipidsiber Bareskrim Polri KBP Rizki Agung Prakoso.
Abdul Gaffar Karim menuturkan riset 2019 yang dilakukan Departemen Politik dan Pemerintahan FISIPOL UGM menemukan banyak disinformasi atau hoaks terjadi di pemilihan presiden (pilpres).
Hoaks di pilpres jauh lebih banyak apabila dibandingkan dengan pemilihan legislatif (pileg).
“Bentuk hoaks yang paling sering terjadi berupa serangan antarcalon presiden dan serangan terhadap penyelenggara pemilu,” kata dia.
Abdul Gaffar menjelaskan saling serang antarkandidat dilakukan bermanuver yang juga menyerang penyelenggara dengan tuduhan tidak netral dan serangan personal.
“Ketika serangan itu sudah mengarah kepada penyelenggara pemilu, ada risiko lain, yaitu rakyat menjadi tidak percaya kepada proses pemilu. Itu yang kemudian mengganggu,” ujar dia.
Berdasarkan analisis big data, lanjut Abdul Gaffar, sarana utama yang digunakan menyebarkan hoaks adalah media sosial dan media massa online abal-abal yang tidak jelas kepemilikannya.
Hasil analisis juga menemukan orang tua di atas usia 40 tahun, lebih rentan terhadap distribusi dan redistribusi hoaks sementara anak-anak muda tidak.
Abdul Gaffar mengatakan ada kemungkinan karena anak-anak muda lahir di kultur digital.
“Orang-orang tua itu terlahir di kultur pemberitaan resmi. Mereka mengira semua berita yang datang ke dia pasti benar. Berita yang masuk lewat WhatsApp juga dianggap benar,” ujar dia.
Untuk mengantisipasi hoaks, lanjut Abdul Gaffar, pada intinya agar berhati-hati dengan media sosial, jangan terlalu percaya media sosial sebagai sumber pengetahuan kecuali kalau jelas sumber dan linknya.
“Media yang review table hampir tidak pernah ada hoaks yang muncul. Kalaupun media resmi melakukan semacam langkah yang tidak positif dalam informasi, biasanya itu malinformasi atau misinformasi yaitu framing,” kata dia.
“Tapi media review table biasanya segera meralat berita informasinya yang tidak benar,” lanjut Abdul Gaffur.
Menurut dia, ada beberapa cara mengantisipasi dan mendeteksi berita hoaks atau informasi yang punya potensi hoaks.
Pertama, informasi yang beredar di media sosial tapi tidak ada di media resmi.
Kedua, informasi yang tak sesuai dengan pengetahuan pribadi.
Ketiga, informasi yang tak sama dengan informasi resmi.
Keempat, informasi yang dibantah sekaligus oleh dua belah pihak, otoritas dan banyak ahli, sudah pasti informasi hoaks.
Abdul Gaffar menjelaskan cara menyikapi hoaks tergantung pada peran tindakan, sebagai otoritas atau individu.
“Kalau kita memegang otoritas maka wajib menyediakan informasi yang lengkap dan mudah diakses. Lalu secara individu dengan menyaring informasi,” kata dia.
Menyaring atau memfilter informasi dilakukan dengan dua cara; pertama, meningkatkan literasi dengan memiliki pengetahuan yang memadai tentang apa yang akan dilakukan. Kedua, berpikir kritis.
“Bersama-sama, otoritas dan individu, perlu melakukan dua hal, hoaks harus dilawan, kemudian hoaks harus diimbangi dengan informasi yang benar sederas informasi palsu yang datang kepada kita,” ujar dia. (Josua)