Alissa Wahid, putri Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau lebih akrab disapa Gus Dur, pernah bertutur bahwa dipenghujung usianya, Gus Dur sempat merasa ngenes dengan perilaku orang-orang yang pernah dekat dengannya.
Pun termasuk terhadap keponakannya sendiri, Muhaimin Iskandar atau populer dipanggil Cak Imin yang sampai sekarang masih menakhodai Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pasca kepemimpinan Gus Dur, dan kini malah sedang getol mengkampanyekan diri agar dipinang menjadi calon wakil presiden mendampingi Joko Widodo (Jokowi) pada Pilpres mendatang.
Soal adanya gesekan antara paman dan keponakan itu, sesungguhnya telah menjadi rahasia umum alias terang benderang diketahui publik. Termasuk juga perihal bagaimana Gus Dur yang disebut telah menggelarkan karpet merah untuk keponakannya itu, dalam menapaki karir di ranah politik. Singkat kata, selain bertalian darah, hubungan Gus Dur dan Cak Imin sebelum cekcok tak ubahnya seperti guru dan murid.
Tapi murid seperti apakah Cak Imin di mata keluarga almarhum Gus Dur, agaknya dapat tercermin dari kisah yang disampaikan Alissa. Menurutnya, pada 2008 silam -ketika proses hukum PKB Gus Dur versus PKB Cak Imin- bergulir, Gus Dur terjatuh saat dituntun ke kamar mandi oleh Sulaiman di kantor Gus Dur di pojok markas PBNU.
Setelah itu, dia dinyatakan menderita stroke ringan. Berdasarkan cerita Sulaiman diketahui, Gus Dur sempat terkejut mendengar pernyataan orang-orang PKB versi Cak Imin di sidang Pengadilan Tata Usaha Negara yang menyatakan lebih senang Gus Dur tidak di PKB.
“Orang-orang ini saya yang bawa masuk politik. Tapi kok tega ya, mereka ngomong begitu tentang saya, Man,” ucap Gus Dur kepada Sulaiman, seperti dikisahkan kembali oleh Alissa.
Untuk perkara yang satu ini, meski pernah menorehkan sejarah menjadi pemimpin sekaligus presiden paling \’nyentrik\’ di Indonesia, tapi Gus Dur terkategori kurang beruntung dibanding Kiai Haji Muhammad Sholeh bin Umar al-Samarani atau akrab disapa Kiai Haji Sholeh Darat dari Semarang.
Nama besar maha guru ini, mungkin tidak begitu dikenal oleh masyarakat umum. Tapi tidak bagi para ulama lawas di Pulau Jawa. Bahkan pendiri Nahdlaltul Ulama (NU) KH Hasyim Asy\’ari dan pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan, adalah dua dari sekian banyak muridnya.
Kendati Kiai Haji Sholeh Darat tidak pernah menjadi presiden seperti Gus Dur, namun beliau lebih beruntung lantaran memiliki murid-murid berbakti, seperti baktinya kedua ulama kesohor itu. Kisah bakti KH Hasyim Asy\’ari dan KH Ahmad Dahlan terhadap kiainya itu, terbetik dalam kisah saat keduanya masih nyantri di pondokan Kiai Haji Sholeh Darat.
Seperti lazim diketahui dalam kehidupan di pondok, bahwa sandal, sarung dan peci merupakan satu paket yang tak terpisahkan dari keseharian penghuni pondokan. Ada keunikan tersendiri pada para santri yang kerap berebut ingin menata sandal yang dilepas kiainya saat memasuki tempat ibadah.
Kebiasaan tersebut merupakan bentuk takzim dan kepatuhan yang tulus kepada sosok guru atau kiai. Para santri meyakini perilaku demikian mengandung keberkahan atau biasa mereka kenal dengan istilah ngalap berkah.
KH Hasyim Asy\’ari dan KH Ahmad Dahlan pun mempraktikkan itu saat keduanya nyantri. Mereka bahkan acapkali saling adu cepat untuk dapat lebih dulu menata sandal Kiai Sholeh Darat. Sang guru mengetahui tindakan murid-muridnya itu. Dalam pandangannya perbuatan kedua muridnya ini sebagai sebuah sikap hidup yang istimewa, dan terbukti KH Hasyim Asy\’ari dan KH Ahmad Dahlan memang menjadi orang-orang istimewa dalam hidupnya. Dan Gus Dur adalah cucu dari KH Hasyim Asy\’ari sang pendiri NU tersebut.
Masih terkait cerita hubungan guru dengan murid, entah apa yang bakal terlontar dari mulut Gus Dur seandainya dia masih hidup dan mengetahui apa yang dilakukan Fredy Candra, pengusaha kabel fiber optik, itu kepada guru-gurunya.
Awalnya, alumnus SMAN 1 Pekalongan lulusan tahun 1993 ini, berencana memboyong semua gurunya keliling Eropa. Namun lantaran usia para guru banyak yang sudah uzur, akhirnya perjalanan dialihkan ke negara tetangga, Singapura dan Malaysia. Tak tanggung-tanggung Fredy memberangkatkan guru-guru di SD, SMP, hingga SMA-nya dulu yang berjumlah tak kurang dari 65 orang.
Tak pelak rencana \’murid gila\’ ini sontak membuat para guru tercengang. Mereka tak menduga masih ada murid yang bersikap demikian di zaman sarat egosentris seperti sekarang. Terlebih selama perjalanan wisata lima hari itu, para guru memperoleh pelayanan dan fasilitas kelas satu. Bahkan masih pula diamplopin duit jajan.
Tak cuma itu, dalam rombongan yang berangkat pada September 2017 tersebut, Fredy juga menyertakan pendamping untuk mendorong kursi roda bagi para guru yang sudah sepuh, dan tak ketinggalan ada dokter yang standby menjaga kesehatan awak rombongan.
Kalau sudah begini, agaknya senyentrik-nyentriknya Gus Dur saat berseloroh, dia tak bakal bilang, \”Gitu aja kok repot!\” Malah boleh jadi, diam-diam dia bakal menitikkan air mata. Karena bagaimana pun Gus Dur juga manusia yang bisa sedih. Terutama saat menyadari ada murid-muridnya yang tak berbakti.
Tapi Gus Dur punya obat penawar. Dia tetap memiliki ribuan, bahkan ratusan ribu, atau malah puluhan juta Gusdurian yang siap berbakti dan tidak menjadi kacang \’rebus\’ yang lupa pada kulitnya. (Hendri Std)