JANGAN langsung temperamental saat membaca judul di atas. Karena memang manusia tidak ada yang sama persis. Terlebih Prabowo adalah orang nomor satu di Indonesia. Pemimpin bagi semua anak bangsa, bukan hanya milik satu partai, apalagi satu golongan semata.
Tapi secara parsial, pada satu titik tertentu, sangat mungkin ada kesamaan antara Prabowo dan Arinal. Misalnya, dalam menjaga integritas.
Bicara soal jiwa ksatria, ada sederet catatan yang bisa diajukan dari Prabowo Subianto. Meski kalah dua kali dari Jokowi dalam kompetisi pemilihan presiden 2014 dan 2019, dirinya tetap bersedia dijadikan “pembantu presiden” masuk dalam jajaran kabinet. Bahkan, Prabowo all out menyingsingkan lengan baju, bekerja untuk mantan rivalnya itu.
Berikutnya, mari tengok momentum yang berlangsung di Istana Negara, Jakarta, pada Selasa (22/10/2024) lalu. Ketika itu Presiden Prabowo melantik 7 tokoh nasional yang ditugaskan memberi masukan kepada presiden. Satu di antara barisan itu terdapat sosok Jenderal (Purn) Wiranto.
Saat prosesi pelantikan Wiranto tampak menghadap ke Prabowo. Penuh takzim dia memberi hormat ke Presiden, sebelum menandatangani berita acara. Wiranto mendapat kepercayaan dari Prabowo menjadi Penasihat Khusus Presiden bidang Politik dan Keamanan.
Padahal jauh sebelum kejadian tersebut, pernah berlangsung peristiwa penting, dimana posisi keduanya juga sama persis, saling berdiri berhadapan. Face to face. Waktu itu 1998, Indonesia tengah dilanda gejolak. Wiranto, yang saat itu bertugas sebagai Panglima Abri (Pangab) mencopot Prabowo sebagai Panglima Kostrad (Pangkostrad).
Prabowo dituding mengerahkan tank dan serdadu Kostrad untuk mengepung Istana. Atas pencopotan tersebut, Prabowo diminta balik badan masuk “kotak”, dikirim menjadi komandan Sekolah Staf dan Komando ABRI di Bandung.
Kini, zaman berubah, roda kehidupan berputar. Prabowo justru mengangkat harkat dan martabat Wiranto ke posisi terhormat. Sudah barang tentu Prabowo masih ingat dengan kejadian silam. Tapi jiwanya tak sekerdil itu untuk membalas. Jiwa besarnya lebih mendominasi perilakunya. Bagi Prabowo, integritas jauh lebih berharga untuk dikedepankan.
Lantas dimana kesamaannya dengan Arinal Djunaidi?
Ketika terpilih menjadi Gubernur Lampung hasil pilgub 2018, Arinal berniat menjalankan janji-janji kampanyenya. Namun langkahnya langsung terhadang “Pekerjaan Rumah” Pemprov Lampung yang belum dirampungkan. Pemprov Lampung memiliki tunggakan beban anggaran hingga Rp1 triliun lebih. Itu semua merupakan warisan dari periode pemerintahan sebelumnya.
Jika mau, mungkin Arinal bisa bersikukuh mendahului menunaikan janji-janji semasa kampanye, sambil menyicil alakadarnya tunggakan yang dimiliki Pemprov Lampung. Tapi dia justru mengambil langkah sebaliknya. Mengedepankan pembayaran tunggakan keuangan pemprov, sambil terus berupaya menjalankan satu-persatu program yang dijanjikannya.
Ini tentu bukan keputusan mudah, risikonya dia bakal ditagih janji kampanye. Benar saja, moncong cibiran banyak pihak langsung mengarah padanya. Arinal bergeming. Keputusan sudah diambil, apa pun risiko tetap ditadahnya.
Belum lagi PR ditunaikan, pandemi covid merundung. Tak pelak segenap perhatian dan kemampuan keuangan daerah tersedot untuk menanggulangi bencana nasional tersebut. Urusan kemanusiaan sudah sepatutnya menjadi prioritas utama.
Hanya saja, perjalanan terjal itu tidak banyak diketahui publik. Banyak pilihan-pilihan sulit yang mesti diambilnya, selaku kepala daerah, terbentang di hadapan. Apalagi kadar semua pilihan itu merupakan prioritas. Tapi, dalam kondisi keuangan Pemprov Lampung yang tidak sedang baik-baik saja, skala prioritas mesti diambil. Memprioritaskan yang ini dan terpaksa menunda prioritas yang itu. Sudah barang tentu akan menyisakan celah pada bidang tertentu.
Situasi tak menguntungkan yang menjepit ini, terasa makin menghimpit ketika persoalan infrastruktur mengemuka. Ibarat bola salju yang menggelinding cepat dan membesar, Gubernur Lampung menjadi sasaran tembak. Menghadapi perkara ini, tidak lantas membuat Arinal menyalahkan kepala-kepala daerah sebelumnya yang telah meninggalkan hutang bagi Pemprov Lampung. Dia tetap “pasang badan” kendati kritik pedas silih berganti menerpa.
Presiden Jokowi yang memahami peta persoalan keuangan Lampung segera turun tangan. Sesama sebagai pemimpin, dia jelas tahu persoalan simalakama yang dijumpai Arinal. Bantuan pusat itu mungkin juga dimaknai sebagai bentuk solidaritas di antara kalangan pemimpin. Terlebih selaku gubernur, Arinal merupakan kepanjangan tangan pemerintah pusat.
Persoalan infrastruktur pun teratasi. Perkara beban keuangan Pemprov Lampung juga berhasil diberesi. Namun, semua itu telah memakan waktu. Hingga tersisa sedikit waktu bagi Arinal menunaikan janji kampanye, sampai kemudian jabatan gubernur berakhir.
Sudah tuntaskah janji-janji politik Arinal? tentu saja belum. Arinal juga manusia biasa, dia bukan Superman, dia juga bukan Bandung Bondowoso yang diminta Roro Jonggrang untuk membangun Candi Prambanan dalam satu malam.
Tapi setidaknya sebagai gubernur, dia sudah memperlihatkan jiwa besar untuk tidak mengungkit seabrek PR yang diwariskan pendahulunya. Dia lebih memilih menjaga integritas, sembari pasang badan untuk dikritisi yang mungkin saja sikap ini terinspirasi dari cerita-cerita ksatria tentang Prabowo dimasa lalu.
Satu lagi yang perlu dicatat. Ada sikap kemandirian yang sama-sama ditunjukkan Prabowo dan Arinal. Mereka berdiri tegak di atas kaki sendiri. Arinal maju dalam pilgub kali ini, berbekal pengalaman dan gagasan. Dia tak nebeng pamor dari siapa pun untuk mengantrol reputasinya. “Ini dadaku, mana dadamu?” Sukarno pernah bilang begitu.(*)