Bandarlampung (Netizenku.com): Aliansi Mahasiswa FEBI (AMF) menolak mekanisme Pemilihan Raya (Pemira) yang diputuskan oleh Birokrasi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) UIN RIL, yang dinilai tidak melibatkan mahasiswa dan menggerus idealisme serta cenderung pragmatis.
Keputusan tersebut dianggap tidak sesuai dengan Keputusan Dirjenpendis Nomor 4961 tahun 2016 Tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan Pada Perguruan Tinggi Agama Islam. Dalam pedoman tersebut, dijelaskan tata cara pemilihan yang melibatkan pembentukan Senat Mahasiswa Fakultas (SEMA-F) sebagai tahapan awal, yang kemudian memiliki kewenangan untuk melaksanakan Pemilihan Dewan Mahasiswa Fakultas (DEMA-F) hingga Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ).
Aliansi Mahasiswa FEBI merujuk pada keputusan Dirjenpendis dan menyatakan bahwa Birokrasi, termasuk Wadek III dan Kepala Jurusan (Kajur), tidak memiliki wewenang sebagai unsur pelaksana dalam Pemira. Sesuai aturan yang berlaku, Wadek III dan jajaran hanya berperan sebagai pengawas.
Ahmad Suripto, salah satu mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa FEBI (AMF), dengan tegas menolak mekanisme yang diputuskan oleh Birokrasi FEBI. Ia berpendapat bahwa keputusan tersebut bertentangan dengan Dirjenpendis.
“Dirjenpendis telah mengatur mekanisme Pemilihan Raya, seharusnya Birokrasi menjalankan aturan tersebut daripada melanggar dengan mengambil alih pelaksanaan Pemira,” ungkap Ahmad.
Ahmad menilai bahwa SEMA-F seharusnya menjadi pelaksana pemilihan. Oleh karena itu, ia mendesak SEMA-F untuk mengambil alih pelaksanaan Pemira dengan mengadakan rapat paripurna pembentukan panitia penerimaan SEMA-F terbaru, sesuai dengan ketentuan Dirjenpendis. SEMA-F merupakan Organisasi Normatif yang bertugas menampung dan menyalurkan aspirasi dalam bentuk peran legislasi di tingkat fakultas.
Menurut Ahmad, Wadek III FEBI dan jajaran tidak hanya tidak mengikuti pedoman Dirjenpendis, tetapi juga terkesan pragmatis. Mereka hanya mengedepankan pelaksanaan Pemira tanpa memperhatikan pendidikan demokrasi.
“Birokrasi seharusnya tetap memperhatikan proses pembelajaran dalam Pemilihan Raya, bukan hanya mengejar penyelesaian dengan dalih apapun,” lanjut Ahmad.
Ahmad menyebut bahwa universitas atau kampus seharusnya menjadi wadah terbentuknya idealisme mahasiswa dalam proses Pemira, mengingat kampus merupakan miniatur negara. Ia berpendapat bahwa keputusan Birokrasi FEBI terkait pemilihan tersebut telah mengurangi nilai-nilai demokrasi yang seharusnya
dipelajari oleh mahasiswa selama proses pemilihan. Selanjutnya, Ahmad, sebagai seorang civitas akademika FEBI, menuntut agar SEMA-F FEBI, yang merupakan organisasi kemahasiswaan tertinggi di tingkat fakultas, melaksanakan Pemilihan Raya. Menurutnya, SEMA-F memiliki fungsi dan wewenang untuk menyusun AD/ART, menyelenggarakan sidang paripurna, dan melaksanakan Pemira sesuai dengan Peraturan Dirjenpendis Nomor 4961 tahun 2016 Tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan Pada Perguruan Tinggi Agama.
Saat ini, perdebatan terkait mekanisme Pemira FEBI masih berlanjut antara Aliansi Mahasiswa FEBI (AMF) dan Birokrasi FEBI. Mahasiswa berharap agar proses pemilihan dapat berjalan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Dirjenpendis, dengan melibatkan SEMA-F sebagai lembaga yang berwenang mengawasi dan melaksanakan Pemira. Bagaimanapun juga, keputusan akhir akan menjadi penentu arah Pemira FEBI dan akan memberikan dampak signifikan terhadap pengembangan demokrasi dan idealisme mahasiswa di lingkungan kampus. (Rilis)