NTP Provinsi Lampung melejit ke angka 129,33 pada November 2025, naik 1,25 persen dibanding bulan sebelumnya. Bagi sebagian besar petani, ini bukan sekadar angka, ini pertanda perbaikan daya tukar antara hasil panen dan biaya hidup serta produksi. Harga yang diterima petani (It) naik 1,28 persen, sedangkan biaya hidup dan produksi (Ib) nyaris datar, hanya naik 0,02 persen. Dengan demikian, petani Lampung memperoleh ruang daya beli dan margin usaha yang lebih sehat. Namun, angka statistik juga menunjukkan ada yang tak merata. Masih ada ketimpangan kenaikan per subsektor yang harus dibenahi.
Subsektor hortikultura menyumbang lonjakan paling dramatis. NTP naik 7,10 persen, terutama karena lonjakan harga sayuran seperti wortel dan cabai yang meroket lebih dari 11 persen sebulan. Perkebunan rakyat, seperti kopi, juga mencatat kenaikan, didorong pasokan yang menipis akibat musim panen yang belum tiba. Namun sektor budidaya perikanan, terutama udang payau justru terpuruk, NTP turun 1,88 persen. Harga murah di musim panen dengan pasokan melimpah menjadi paradoks. Produksi tinggi, pendapatan rendah. Sementara itu, sektor peternakan dan tanaman pangan hanya mencatat kenaikan moderat, menandakan bahwa peningkatan umum pada NTP tidak otomatis berarti seluruh petani merasakan “kehidupan lebih baik.”
Kenaikan konsumsi rumah tangga (IKRT +0,15 persen) menunjukkan bahwa sedikit demi sedikit, petani mulai mengakses layanan dan barang konsumsi, seperti kesehatan, perawatan pribadi, makanan. Ini menunjukan daya beli bergerak. Namun konsumsi yang naik tanpa jaminan pendapatan stabil bisa dengan cepat berubah menjadi tekanan biaya hidup.
Keadaan ini mestinya menjadi alarm dan peluang sekaligus. Alarm karena ketimpangan antar subsektor bisa memantik ketidaksetaraan. Petani hortikultura dan kopi hari ini tersenyum, tetapi pembudi daya udang bisa merana. Peluang, karena momentum kenaikan NTP ini memberi legitimasi bagi kebijakan propetani dengan beragam stimulus seperti pemberian subsidi input pertanian, penguatan rantai distribusi, dan intervensi pasar untuk stabilisasi harga komoditas musiman.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Jika pemerintah lokal dan pusat mengabaikan disparitas ini, maka NTP tinggi cuma akan menjadi angka cantik dalam laporan bulanan, bukan fondasi kesejahteraan jangka panjang.
Sebaliknya, jika kebijakan diarahkan pada hilirisasi (pengolahan hasil panen lokal), proteksi harga saat panen besar, dan dukungan modal/teknologi untuk subsektor lemah (seperti perikanan budidaya), maka Lampung bisa menciptakan basis ekonomi pedesaan yang tidak mudah goyah oleh siklus musim atau fluktuasi harga global.
NTP 129,33 seharusnya menjadi momentum, bukan sekadar perayaan, melainkan kesempatan untuk mendorong reformasi agraria dan kebijakan yang menyentuh akar persoalan (biaya produksi, rantai distribusi, akses modal, dan stabilitas harga). Bila dikelola dengan bijak, angka ini bisa menjadi pijakan ke arah desa yang produktif, petani yang sejahtera, dan ekonomi daerah yang resilient.
Karena pada akhirnya, kemakmuran petani bukan ditentukan oleh satu bulan yang bagus, melainkan oleh keberlanjutan pendapatan, akses ke pasar adil, dan perlindungan terhadap gejolak harga. Lampung sudah mendapatkan angin segar. Terserah kita, apakah angin itu akan membuahkan panen kemakmuran, atau sekadar jadi embusan angin sementara.








