Bandarlampung (Netizenku.com): Komisioner KPU Kota Bandarlampung, Hamami, mengatakan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik (parpol) menjadi salah satu penyebab masyarakat tidak menggunakan hak pilihnya di pemilu.
Masyarakat menganggap parpol tidak punya kandidat yang dipercaya akan membawa perubahan. Faktor politik ini menjadi faktor yang dominan dalam meningkatkan partisipasi pemilih.
“Ada dua faktor penyebab bagi pemilih untuk tidak memilih, faktor internal dan eksternal,” kata Hamami selaku Ketua Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih dan Partisipasi Masyarakat, dalam Webinar Seri Pendidikan Pemilih, Literasi Demokrasi dan Kepemiluan, Selasa (31/8).
Faktor internal disebabkan faktor teknis dan faktor pekerjaan. Sementara faktor eksternal terbagi dalam 3 garis besar yakni administrasi, sosialiasi, dan politik.
Faktor administrasi dan sosialisasi, jelas Hamami, terkait kinerja penyelenggara pemilu seperti pemilih tidak terdata di daftar pemilih tetap (DPT), tidak dapat undangan pemilih, dan kurangnya sosialisasi jadwal pelaksanaan pencoblosan di tempat pemungutan suara (TPS).
“Menurut saya faktor politik lebih dominan sehingga pemilih tidak datang ke TPS, warga tidak percaya pada calon-calon yang diusung partai,” ujar dia.
Hamami menegaskan kandidat yang diusung parpol menjadi faktor pendorong bagi warga untuk hadir di TPS, baik di masa pemilihan normal maupun pandemi Covid-19.
Webinar dengan tema “Kolaborasi Civil Society, Governance, dan Media Massa Mewujudkan Partisipasi Pemilih yang Tinggi dan Berdaulat” menghadirkan sejumlah narasumber.
Di antaranya Dosen Analisis Politik Indonesia FISIP Universitas Lampung Himawan Indrajat S.IP M.Si, Pegiat Literasi dan Pemberdayaan Masyarakat Dr Hardi Santosa M.Pd.
Literasi Politik Meningkatkan Partisipasi Pemilih
Himawan Indrajat mengatakan meningkatkan partisipasi pemilih bisa dilakukan dengan literasi politik atau melek politik.
“Ketika literasi politik disangkut-pautkan dengan partisipasi pemilih, kita bicara dengan pemilih yang berdaulat, pemilih rasional dan sadar akan hak-haknya bukan sekedar ikut-ikutan saja,” kata dia.
Pemilih rasional memiliki aspirasi sendiri dan pengetahuan politik serta memahami isu-isu politik.
Menurut Himawan, masyarakat perlu diberikan literasi politik sehingga sadar akan hak-haknya bahwa memilih akan memengaruhi kehidupan mereka, karena calon kepala daerah yang akan terpilih membuat kebijakan-kebijakan politik yang bersinggungan dengan kehidupan sehari-hari.
Seseorang yang memiliki pemahaman tentang isu-isu politik dalam kehidupan sehari-hari akan cenderung menjadi pemilih yang kritis.
Memilih calon bukan lagi dari sekedar tampilan atau pemberian tapi benar-benar kritis soal latar belakang dan sepak terjang calon.
“Sehingga ketika mereka akan memilih, mereka akan mempelajari calon-calonnya, memahami apa yang ditawarkan para calon-calon tersebut,” kata dia.
Membangun literasi politik dimulai dari sosialisasi dengan memberikan pengetahuan politik kepada masyarakat. Sosialisasi politik bisa lewat media massa, keluarga, tempat bekerja, calon dari parpol, sekolah, atau perguruan tinggi.
“Sosialisasi politik akan membentuk sikap dan persepsi terhadap para calon yang akan mencalonkan diri,” tutup dia.
Pemilih Cerdas Pemilih Berdaulat
Pegiat Literasi dan Pemberdayaan Masyarakat, Dr Hardi Santosa, menyampaikan setidaknya ada dua hal yang dimiliki pemilih berdaulat yaitu bersedia menerima informasi beragam sumber dan menelaah secara kritis. Kemudian tidak memilih karena fisik apalagi money politics.
KPU dengan slogan “Pemilih Berdaulat Negara Kuat” akan sangat memengaruhi atau dipengaruhi oleh perilaku pemilih itu sendiri.
“Apakah tingkat partisipasi di pemilu itu sudah pemilih yang cerdas berdaulat. Hasil survei Polmark di Pemilu 2019, pemilih memilih secara mandiri baru mencapai 46,65%. Mereka sudah menentukan pilihannya berdasarkan pikiran dan hati nurani. Selebihnya, lebih banyak didorong faktor keluarga, tokoh masyarakat, dan pimpinan atau atasan,” kata Hardi.
Perilaku pemilih yang mengaku tidak punya calon, menganggap kandidat tidak mewakili aspirasinya, atau tidak percaya pada partai politik, menurut Hardi, memunculkan sebuah perspektif di masyarakat untuk memilih yang terbaik dari yang baik atau justru sebaliknya, memilih yang buruk di antara yang paling buruk.
Partisipasi pemilih berdaulat ini perlu ditingkatkan lewat peran civil society, komunitas, dan organisasi keagamaan karena pemilih berdaulat punya kepedulian dan harapan akan nasib bangsa dan negaranya.
“Sehingga tingkat partisipasi publik dan independensi pemilih semakin tinggi dan cita-cita ‘Negara Kuat’ terwujud. Termasuk penyelenggaranya sendiri juga harus berdaulat,” pungkas dia. (Josua)