Bandarlampung (Netizenku.com): Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK) Provinsi Lampung di tahun 2018 menduduki peringkat 12 nasional.
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis IPK Nasional sebesar 53,74 sementara IPK Lampung 54,33.
IPK disusun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) bersama Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan BPS.
Indeks tersebut terdiri dari 31 indikator penyusun yang dirangkum dalam tujuh dimensi pengukuran, yakni Ekonomi Budaya, Pendidikan, Ketahanan Sosial Budaya, Warisan Budaya, Ekspresi Budaya, Budaya Literasi, dan Gender.
Kabid Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Lampung, Heni Astuti, ketika ditemui pada Selasa (22/3) lalu menyampaikan Provinsi Lampung sejak tahun 2018 telah memiliki pokok pikiran kebudayaan daerah (PPKD).
Dia menjelaskan PPKD adalah data yang berisi inventarisasi obyek pemajuan kebudayaan sesuai amanat UU Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
“Implementasi pembangunan kebudayaan disesuaikan dengan daerah masing-masing yang tergambar dalam PPKD. Kekayaan budaya, baik benda maupun takbenda, harus tergambar di sana,” kata dia pada Selasa (22/3) lalu.
Namun saat ini dari 15 kabupaten/kota se-Provinsi Lampung, lanjut Heni, ada 9 daerah yang belum melengkapi PPKD termasuk Kota Bandarlampung yang merupakan ibu kota Provinsi Lampung.
Baca Juga: Status Obyek Cagar Budaya di Bandarlampung Terkendala Tim Ahli
Berikut hasil penghitungan IPK 2018 Provinsi Lampung yang dirilis oleh BPS
IPK Lampung berada di atas IPK Nasional dan di peringkat ke-12 dari 34 provinsi.
Tiga dimensi pembentuk IPK Lampung memiliki nilai indeks di atas angka nasional yaitu dimensi pendidikan (72,43) pada peringkat ke-10, dimensi ketahanan sosial budaya (77,47) pada peringkat ke-8, dan dimensi warisan budaya (44,99) pada peringkat ke-9.
Empat dimensi lainnya masih berada di bawah angka nasional yaitu dimensi ekonomi budaya (30,42) pada peringkat ke-11, dimensi ekspresi budaya (27,13) pada peringkat ke-29, dimensi budaya literasi (46,57) pada peringkat ke-29, dan dimensi gender (53,79) pada peringkat ke-24.
Pemerintah Provinsi Lampung didorong untuk meningkatkan nilai pada masing-masing dimensi.
Untuk dapat meningkatkan nilai dimensi ekonomi budaya, Pemerintah Provinsi Lampung perlu untuk melaksanakan program terkait agar persentase penduduk yang pernah terlibat sebagai pelaku/pendukung pertunjukkan seni yang menjadikan keterlibatannya sebagai sumber penghasilan (0,30%) meningkat.
Rendahnya nilai dimensi pendidikan paling dipengaruhi oleh nilai indikator rata-rata lama sekolah penduduk 25 tahun ke atas di Lampung yang besarnya sekitar 7,82 tahun. Dengan meningkatkan nilai indikator tersebut maka nilai dimensi pendidikan juga akan meningkat.
Indikator dengan nilai terendah di dimensi ketahanan sosial budaya Lampung adalah persentase penduduk usia 10 tahun ke atas yang mengikuti gotong royong yang nilainya sebesar 34,67%. Indikator tersebut dapat menjadi prioritas dalam rangka menaikkan nilai dimensi ketahanan sosial budaya.
Persentase benda, bangunan, struktur, dan situs cagar budaya yang telah ditetapkan terhadap total registrasi di Lampung adalah 1,77%. Angka tersebut masih berada jauh dari angka nasional (3,17%) dan target (50%).
Hanya ada sekitar 1,61% penduduk 10 tahun ke atas di Lampung yang pernah terlibat sebagai pelaku/pendukung pertunjukkan seni. Kecilnya angka tersebut paling mempengaruhi rendahnya nilai dimensi ekspresi budaya Lampung.
Ada sekitar 35,55% penduduk berumur 10 tahun ke atas di Lampung yang mengakses internet dalam tiga bulan terakhir. Untuk meningkatkan angka tersebut, pemerintah setempat dan pihak swasta perlu untuk menyediakan fasilitas serta sarana dan prasarana penunjang internet di Lampung.
Rasio anggota parlemen perempuan terhadap anggota parlemen laki-laki di Lampung mencapai 18,06. Angka tersebut berada di bawah angka nasional (21,2%) dan masih jauh dari target (100%).
Penyusunan Indeks Pembangunan Kebudayaan mengacu pada kerangka pengukuran kebudayaan yang disusun UNESCO, yaitu Culture Development Indicators (CDIs) serta menyesuaikan dengan dinamika dan kebutuhan pembangunan kebudayaan di tingkat nasional dan daerah.
IPK bukan mengukur nilai budaya, tetapi lebih memotret pencapaian pembangunan kebudayaan di wilayah. (Josua)