Bandarlampung (Netizenku.com): Memperingati Hari HAM Nasional setiap tanggal 10 Desember, Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) Lampung dan Metro Lampung News bekerja sama dengan SEA Junction, mengadakan diskusi kasus pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi di Lampung yakni tragedi Talangsari.
Tragedi Talangsari 1989 merupakan salah satu dari 12 kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia. Peristiwa ini terjadi 34 tahun lalu tepatnya pada 7 Februari 1989 di Dusun Talangsari III, Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Way Jepara, Kabupaten Lampung Timur (saat itu masih Kabupaten Lampung Tengah).
Dusun Talangsari atau yang lebih familiar dikenal dengan Dusun Cihideng, saat ini sudah berganti nama menjadi Dusun Subing Putra 3. Alasannya tak lain karena nama “Talangsari” sendiri akan terus mengingatkan para korban terhadap penderitaan dan kisah kelam pada masa orde baru tersebut.
Diskusi Korban Peristiwa Talangsari 1989 bertajuk “Berdamai dengan Trauma” tersebut menghadirkan para korban dari tragedi Talang Sari, Psikolog Lampung, Lembaga Bantuan Hukum Bandarlampung, Forum PUSPA Lampung, Perkumpulan Damar Lampung, dan beberapa komunitas lainnya.
![](https://netizenku.com/assets/uploads/2023/12/IMG-20231223-WA0026.jpg)
Mengawali diskusi, salah satu korban tragedi Talangsari, Edi, menceritakan kronologi peristiwa tersebut secara singkat. Di mana kejadian hari itu terjadi secara tiba-tiba. Di mana TNI datang ke rumah dan masjid dusun tersebut, menembaki jamaah masjid hingga malam itu terasa sangat mencekam.
“Saat itu saya masih kelas 1 SMP dan dalam kejadian itu 11 teman sebaya saya hilang sampai sekarang. Jika meninggalpun tak pernah ditemukan mayatnya hingga saat ini. Jamaah di masjid meninggal, ustadz atau guru ngaji saya pun meninggal hari itu,” jelasnya.
Ayah Edi ditangkap oleh TNI saat itu, ia pun sempat mengungsi di Padang bersama ibunya, namun di sana ternyata mereka pun juga ditangkap. Di penjara korem, ia mendapat penyiksaan dari TNI, seperti direndam berjam-jam dalam air, ditakut-takuti, sampai melihat ibunya disiksa. Hal itu pun menyisakan luka dan trauma pada dirinya.
“Hingga saat ini saya trauma dengan jarum suntik, dan juga jika melihat air tanah, tragedi ini sangat lekat diingatan, jika dibilang berdamai dengan trauma maka tidak akan ada yang bisa menghapus trauma, hanya berusaha ikhlas walau bekasnya terus ada seumur hidup, untuk itu saya bersumpah akan terus menceritakan kepada siapapun tentang peristiwa itu, agar semua orang tahu kebenarannya, meski sebenarnya akan selalu menggali dan menjadi luka yang menganga,” ujarnya dengan suara bergetar, seakan ingatannya kembali ke masa sulit itu.
Tak hanya Edi, ada tiga korban lain yang juga menceritakan penderitaannya atas tragedi Talangsari. Di mana para korban menderita trauma ketakutan pada suara petasan yang mirip dengan suara tembakan, dan sebagainya.
Kegetiran juga disampaikan Sarwiyati, wanita yang kini sudah berusia paruh baya itu terlihat begitu penuh emosi mengutarakan kisah kelamnya. Saat itu ia masih memiliki balita, yang harus tinggal di gubuk, hanya memiliki selembar kain untuk digunakan segala keperluan, mulai dari menghalau dinginnya udara malam, dan lapis tidur di siang hari.
“Pojok kain sebelahnya basah, diputar lagi sebelahnya karena cuma itu yang kami punya, sudah sepekan di gubuk kami mulai bingung, siapa yang akan mencari makan, suami ada yang di penjara, atau kalaupun ada tidak berani pulang takut ditangkap, jadi saat itu saya berubah menjadi perempuan kuat yang harus bertahan hidup, menjadi kuli, dan apapun pekerjaan dilakoni, yah kalau diingat-ingat peristiwa itu membuat segala penyakit muncul, darah tinggi, stres, trauma, tapi mau bagaimana lagi,” ujarnya sembari mengusap air matanya.
Tak hanya itu, peristiwa ini juga dampaknya sangat luas terhadap kehidupan para korban, pasalnya rumah-rumah warga juga dibakar oleh TNI sehingga mereka tidak memiliki tempat berlindung. Seperti keluarga besar Turasih yang harus tinggal di gubuk kecil milik orang lain dan menjadi kuli dengan upah Rp1.700 karena para suami, keluarganya ditangkap, atau kalau pun ada mereka tak berani pulang.
Ditambah tanah lokasi terjadinya tragedi Talangsari statusnya tidak jelas. Sehingga para korban meminta pemerintah untuk segera memberikan surat resmi kepemilikan tanah.
Menanggapi kasus ini, Psikolog Lampung, Fiqih Amalia, mengatakan jika para korban tragedi Talangsari pasti membutuhkan waktu yang sangat panjang sampai bisa berdamai dengan trauma atas kejadian luar biasa yang pernah mereka alami.
“Di sisi lain korban membutuhkan keadilan, dan untuk mendapatkan keadilan itu mereka harus terus menceritakan kejadian yang mereka alami secara terus menerus, yang mau tak mau kembali mengorek luka dan penyebab trauma mereka,” katanya.
Fiqih pun memberikan solusinya agar komunitas masyarakat bisa membuatkan film dokumenter keterangan para korban tragedi Talangsari. Selain itu ia berharap, masyarakat termasuk keluarga dan tetangga untuk tidak mendiskriminasi para korban pelanggaran HAM tersebut.
Direktur LBH Bandarlampung Sumaindra Jarwadi, juga menambahkan peristiwa pelanggaran HAM berat di Indonesia termasuk Talangsari kini semakin dinormalisasi. Generasi saat ini dibuat tidak tahu sehingga cuek dengan peristiwa besar yang memberikan penderitaan panjang bagi korban.
Ia pun meminta generasi muda saat ini untuk terus menyuarakan kasus-kasus pelanggaran HAM, karena sampai hari ini belum ada keadilan atas para korban. Pelaku belum ditangkap dan belum ada pengakuan negara atas kejadian itu semua. (Leni)