Lampung (Netizenku.com): Selama empat tahun pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), posisi utang pemerintah pusat menembus Rp 4.000 triliun.
Berdasarkan sumber rilis APBN kita per Oktober 2018, total utang pemerintah pusat hingga September 2018 sebesar Rp 4.416,37
Jumlah tersebut terdiri dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 3.593,26 triliun dan pinjaman sebesar Rp 823,11 triliun.
Sementara berdasarkan situs Kementerian Keuangan sejak periode 2014, total utang pemerintah telah bertambah sekitar Rp 1807,59 hingga oktober 2018.
Namun dalam konteks utang di masa Presiden Jokowi, tidak fair jika tidak dimasukkan jumlah utang dari 2014, karena tahun tersebut bersamaan dengan kepemimpinan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Untuk itu, akan lebih baik jika kita hitung sejak tahun 2015. Jika ditarik dari periode tersebut, utang pemerintah pusat bertambah sekitar Rp 1.251,24 triliun.
Di sisi lain, penambahan utang dari 2017 hingga oktober 2018 jadi yang terbesar jika dibandingkan pada tahun-tahun sebelumnya.
Lalu dari sisi rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) per September 2018 mencapai 30,47% atau tertinggi sejak 2016, di mana rasio utang pada 2016 saat itu sempat menembus level 34,75%.
Di era Jokowi, tren rasio utang bergerak fluktuatif. Bahkan di Januari 2018, rasio utang sempat berada di level 29,1% atau terendah sejak 2013. Namun, di 2018 ini tren rasio utang terus mengalami kenaikan.
Memang diakui, rasio utang saat ini masih jauh di bawah rasio maksimum yang diperbolehkan Undang-Undang Keuangan Negara No. 17 Tahun 2003 yaitu sebesar 60%.
Surat Utang RI, 40% Dikuasai Asing
Pada masa Presiden Jokowi, pemerintah lebih mengandalkan sumber utang yang berasal dari penerbitan SBN [Surat Berharga Negara] dibandingkan pos pinjaman.
Tren ini sebenarnya telah terjadi sebelum Jokowi memimpin. Namun, saat Jokowi memimpin, jumlah SBN yang diterbitkan semakin pesat.
Dari sejumlah SBN yang diterbitkan, institusi Non-Bank jadi pihak yang paling banyak memiliki instrumen tersebut.
Jika dibedah lebih dalam lagi rupanya pemegang terbesar berasal dari pihak Non-Resident (Asing) dengan jumlah mencapai 37,04% atau senilai Rp 848,65 triliun.
Sejak Presiden Jokowi dilantik pada 20 Oktober 2014, tren kepemilikan asing di obligasi pemerintah memang cukup tinggi.
Data Kementerian Keuangan selama periode Oktober 2014-2018, kepemilikan asing selalu di atas 35%.
Obral Bunga Tinggi Demi Utangan
Setidaknya ada dua faktor yang menjadi penyebabnya. Pertama, imbal hasil SBN. Sejak Jokowi dilantik, rata-rata yield SBN cukup menggiurkan.
Ambil contoh tenor 10 tahun, rata-rata yield obligasi pemerintah indonesia di level 7%
Angka ini lebih tinggi dibandingkan imbal hasil surat utang pemerintah di negara-negara ASEAN seperti Malaysia, Singapura, Vietnam hingga Thailand.
Kedua, rating surat utang pemerintah. Sejak Jokowi dilantik, rating surat utang pemerintah cenderung mengalami perbaikan.
Per 2018 ini, rating utang surat pemerintah yang diberikan lembaga-lembaga seperti Moody’s, Standard & Poor’s dan Fitch rata-rata berada di outlook stabil.
Kondisi tersebut semakin meyakinkan investor asing untuk memburu obligasi pemerintah. Akibatnya porsi asing pun semakin meningkat.
Tingginya surat utang yang dikuasai asing jadi risiko tersendiri bagi Indonesia.
Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Christine Lagarde menyebut naiknya kerentanan utang global menjadi salah satu risiko besar bagi perekonomian dunia saat ini.
Ketika likuiditas mengetat, maka potensi terjadinya capital outflows cukup besar.
Jika ini terjadi pada perdagangan SBN di pasar sekunder, maka berdampak negatif pada perekonomian utamanya nilai tukar.
Pelemahan Rupiah dan Makin Mahalnya Biaya Utangan
Sejak awal tahun, kurs rupiah telah terdepresiasi hampir 12% dan berada di level Rp 15.200/US$.
Pelemahan ini tentu memberikan beberapa dampak negatif, utamanya bagi dunia usaha. Dampak ini setidaknya terlihat kesulitan impor barang baku dan modal
Data Badan Pusat Statistik per September 2018, impor bahan baku mulai mengalami penurunan akibat pelemahan rupiah yang semakin tinggi.
Selain dampak terbatasnya impor, dampak lain yang dihadapi adalah kenaikan suku bunga kredit akibat kenaikan suku bunga acuan oleh BI.
Akibat kedua kondisi ini, perkembangan dunia usaha pun cenderung melambat.
Berdasarkan rilis survei dunia usaha oleh BI per kuartal III-2018, hal tersebut terbukti. Ini terlihat dari besaran Saldo Bersih Tertimbang (SBT) yang menurun pada periode tersebut.
Penurunan SBT mengindikasikan pertumbuhan dunia usaha kurang membaik.
Perlambatan dunia usaha tentu jadi sentimen negatif bagi perekonomian, karena bisa menahan laju pertumbuhan PDB kedepannya.
Domestik Harusnya Jadi Kunci
Dampak multiplier yang terjadi perlu jadi perhatian serius pemerintahan Joko Widodo.
Untuk itu, pemerintah perlu berhati-hati dalam mengalokasikan jumlah utang kedepannya terutama penerbitan SBN.
Pada Nota Keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2019, pemerintah berencana menerbitkan SBN sebesar Rp 386,21 triliun.
Sementara pos pinjaman dalam negeri sekitar Rp 1,95 triliun dan pinjaman luar negeri sebesar Rp 58,97 triliun.
Pengalokasian SBN bagi investor asing sebenarnya beresiko terutama sejak normalisasi kebijakan moneter di AS mulai terjadi tahun ini.
Era perang suku bunga acuan global mulai terjadi, sehingga mengakibatkan likuiditas global semakin mengetat.
Di kawasan Asia sendiri, Bank Indonesia (BI) jadi satu dari tiga bank bersama bank sentral Filipina dan Pakistan yang paling agresif menaikkan suku bunga acuannya hingga lebih dari 100 bps.
Persaingan suku bunga jadi pertimbangan investor asing untuk memindahkan dana yang dimilikinya, termasuk di instrumen SBN. Aliran modal asing yang mudah berpindah tentu jadi sentimen negatif bagi rupiah sehingga pelemahan pun terjadi
Untuk menanggulangi ancaman tersebut, ada baiknya pemerintah mulai mendorong peran lebih investor domestik lebih besar.
Lihatlah Jepang, meskipun rasio utang terhadap PDB di atas 200% akan tetapi kondisi perekonomian masih aman terutama nilai tukarnya.
Yen jadi satu-satunya mata uang di negara kawasan emerging market yang mampu menguat terhadap dolar AS.
Salah satu faktor yang mendorong hal tersebut adalah minimnya kepemilikan asing di surat utang pemerintah
Data Kementerian Keuangan Jepang per Juni 2018 memperlihatkan, porsi kepemilikan asing hanya sebesar 6,1%.
Sementara porsi domestik baik bank sentral hingga domestik mencapai 93,9%. Kepemilikan domestik yang mayoritas, menyebabkan aliran modal berputar di dalam negeri. Lain cerita, jika asing yang berada di posisi tersebut.
Oleh karena itu, pemerintah perlu memberikan insentif bagi investor domestik seperti penurunan pajak imbal hasil obligasi, agar semakin banyak investor domestik tertarik memburu instrumen tersebut.
terkait pajak imbal hasil, saat ini regulasi pemerintah i menetapkan besaran pajak yang dikenakan sebesar 20%. Angka ini mungkin terlalu tinggi, sehingga investor kurang tertarik memburu instrumen obligasi pemerintah.
Badan Kebijakan Fiskal (BKF) bersama internal Kementerian Keuangan tengah menggodok aturan baru untuk pajak penghasilan final dari bunga obligasi pemerintah.
Hal tersebut, sempat dikemukakan Kepala BKF Suahasil Nazara dalam konferensi pers APBN KiTa di Aula Mezzanine, kompleks Kementerian Keuangan akhir pekan lalu.
Sementara Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan menjelaskan, BKD dan Direktorat Jenderal Pajak (PJK) sedang melakukan kajian terkait hal tersebut.
\”Sedang direview oleh BKF dan DJP, perlakuan PPh atas obligasi, swasta, dan SUN [surat utang negara],\” kata Robert Pakpahan di gedung parlemen, Senin (24/9/2018).
Andai rencana ini jadi direalisasikan, tentu jadi insentif menarik bagi masyarakat. Bisa jadi kedepannya, lebih banyak masyarakat yang memberi obligasi pemerintah seperti Obligasi Ritel Indonesia (ORI) dan Sukuk Ritel (Sukri).
Jika pemerintah terpaksa menerbitkan SBN dalam jumlah besar, tidak menimbulkan ancaman bagi nilai tukar berarti sebab kepemilikan domestik lebih mendominasi.
Tax Ratio yang Loyo
Ekonom Senior Universitas Indonesia Faisal Basri mengungkapkan, lonjakan utang pemerintah disebabkan oleh ekspansi fiskal yang tak mampu dikompensasi dari penerimaan pajak.
“Peningkatan utang yang relatif pesat selama pemerintahan Jokowi – JK disebabkan oleh kenaikan tajam pengeluaran yang tidak diiringi oleh peningkatan nisbah pajak [tax ratio],” kata Faisal, dikutip dari laman resminya.
Faisal tak memungkiri, utang pemerintah Indonesia relatif kecil, bahkan relatif sangat kecil dibandingkan dengan utang kebanyakan negara, baik negara maju maupun negara berkembang.
Saat ini, negara penguatan paling besar adalah Jepang. Utang negeri Sakura itu terhadap produk domestik bruto (PDB) mencapai 253%. Negara tetangga seperti Singapura, pun rasio utangnya terhadap PDB mencapai 100%.
Namun, tidak bisa begitu saja membandingkan total utang Indonesia yang relatif rendah dengan utang Jepang. Negara tersebut, kata Faisal memang berutang namun pada waktu yang bersamaan juga menguasai surat utang yang diterbitkan oleh negara lain.
“Jadi Jepang selain sebagai debitor juga sebagai kreditor. Sedangkan Indonesia praktis sebagai debitor murni,” tegasnya.
Selain itu, jika dibandingkan dengan Jepang, bunga utang di Indonesia relatif lebih tinggi. Belum lagi, mayoritas surat utang pemerintah Jepang dipegang oleh rakyatnya sendiri, sehingga pembayaran bunga yang mengalir ke luar negeri relatif kecil.
“Sebaliknya, surat utang Indonesia yang dipegang oleh investor asing tergolong relatif besar. Bahkan paling besar atau setidaknya salah satu yang paling besar di dunia,” ujarnya.
“Tak pelak lagi, kondisi ini membuat Indonesia lebih rentan terhadap gejolak eksternal,” tegas Faisal.
Benarkah Utang Digunakan untuk Kegiatan Produktif?
Faisal mengklaim utang yang selama ini diungkapkan demi kegiatan produktif sampai infrastruktur tidak benar.
Berdasarkan data yang dimiliki Faisal, utang baru lebih besar porsinya digunakan untuk membayar utang yang jatuh tempo.
\”Sangat menyesatkan kalau produktif. Saya baca data ya, Januari 2018 pertumbuhan pengeluaran tertinggi itu untuk bayar utang 63%. Kedua terbesar belanja barang yakni 58% dan ketiga adalah belanja modal yang di mana di dalamnya terdapat infrastruktur yang mencapai 36%,\” ungkap Faisal.
Kemudian, Faisal mengatakan belanja infrastrukur pun tak sepenuhnya menggunakan utang pemerintah. Karena sebagian besar tidak dari APBN.
\”Infrastruktur itu BUMN yang banyak mengerjakan, BUMN yang berutang lagi. Ini berbahayanya, tidak sehat,\” jelas Faisal.
Utang-utang pemerintah juga tak mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Menurut Faisal, pertumbuhan ekonomi saat ini masih stagnan di 5%.
\”Jika utang diklaim lebih produktif, buktinya pertumbuhan ekonomi masih stagnan di 5%. Karena itu, utang ini sebenarnya untuk membayar utang yang jatuh tempo,\” katanya. (cnbci/lan)