SODIK, Kodrat, Usup dan Neneng sedang duduk melingkar di bawah pohon seri. Pohon yang dahannya melebar ini, seakan memayungi bocah-bocah itu dari terik mentari. Tak heran kalau mereka merasa kerasan berlama-lama di sana.
Saban kali pulang dari PAUD, tempat mereka belajar sambil bermain, dan belum memasuki jam tidur siang, keempatnya acapkali kedapatan berkumpul di bawah pohon yang seakan sudah didapuk menjadi markas mereka.
Namun pagi menjelang siang kali ini ada pemandangan berbeda. Bila biasanya empat sekawan itu duduk sambil mengunyah buah seri, kali ini mereka tengah berkutat dengan selembar kertas dan kelir di tangan masing-masing. Mereka mengacuhkan buah seri merah yang berserakan di rerumputan, usai jatuh dari tangkainya karena sudah masak di pohon.
Padahal sebelumnya, dengan keriangan ala anak-anak, sebuah seri merah bisa menjadi bahan rebutan dan tak jarang memicu salah satu di antara Sodik Cs itu terjengkang kalah tenaga. Lalu nasibnya akan seperti pepatah \’sudah jatuh tertimpa tangga pula\’, karena sesaat kemudian bakal pecah tawa berderai-derai dari mulut mungil yang lain sambil mengolok-olok anak yang terjatuh.
Tapi itu sifatnya hanya spontanitas, karena sedetik kemudian keempatnya akan rukun kembali. Bahkan tak jarang buah seri yang awalnya diperebutkan, ujung-ujungnya justru disorongkan ke anak malang yang tersuruk itu. Bocah-bocah ini seakan telah mengajarkan cara memaknai kata sportifitas. Uuuh…to twittt…!
Tapi mereka kini sedang melupakan sesaat tentang keranuman buah-buah seri. Perhatian mereka lebih tertumbuk pada coretan di kertas. Kalau ditengok lebih lanjut baik Sodik, Kodrat, maupun Usup dan Neneng sedang menggambar obyek orang. Walau tak begitu apik namun untuk ukuran anak umur 4 dan 5 tahun, gambar-gambar ini sudah lumayan bisa dipahami bentuknya.
Sodik, misalnya, dia menggambar dua sosok orang yang lantas dibubuhi angka 1 persis di atas gambar. Hal serupa juga dilakukan Neneng. Ada dua sketsa sosok manusia dan pada bagian atasnya diberi tarikan garis menyerupai gambar jari telunjuk dan jari tengah. \”Ini Salam Dua Jari,\” celetuknya mengucap seorang diri dengan sorot mata tetap fokus pada coretan gambarnya.
Usup pun menggambar obyek nyaris serupa. Ada dua sosok yang dibuat. Hanya saja berbeda dengan kedua rekannya, ia menggambar sesosok lelaki dan seorang perempuan, itu ditandai lewat tarikan garis mirip hijab yang dikenakan oleh salah satu sosok pada gambarnya. Usup juga mencantumkan angka 3 di sana.
Sementara Kodrat terlihat berbeda sendiri. Ia tidak menggambar dua sosok seperti gambar yang dibuat rekan-rekannya. Kodrat hanya membuat satu gambar sosok dan di sebelahnya ada sebentuk tarikan sketsa mirip kursi sekolah dalam posisi terbalik.
Saat teman-temannya menanyakan mengapa hanya satu gambar orang yang dibuatnya, Kodrat menanggapi dengan enteng. \”Kalian ini kurang cermat. Setiap nomor 4 kampanye apa pernah lihat calon gubernur dan calon wakil gubernurnya dateng komplit. Nggak pernah lihat, kan? Lalu kenapa aku harus buat gambar dua orang. Nggak mau, ah. Pembohongan publik namanya, cuma ada satu orang tapi disuruh buat dua orang,\” sergah Kodrat keukeh.
Sodik, Usup dan Neneng merasa paparan yang disodorkan Kodrat cukup argumentatif. Mereka pun kompak mengangguk. \”Tapi gambar ini juga masih kurang lengkap. Belum ada nomor urutnya,\” tukas Neneng.
Kembali Kodrat menyunggingkan senyum sinis. \”Si Neneng bener-bener nggak cermat, deh. Ini simbolisasi. Itu kursi terbalik kan menyerupai angka empat. Miskin imajinasi, nie,\” timpalnya, seraya mengangkat kertas bergambar itu tinggi-tinggi di atas kepalanya, \”Kece nih…..keceeeee…!\” Seloroh Kodrat membanggakan hasil coretan tangannya.
Kali ini rekan-rekannya hanya bisa menelan ludah sambil saling melempar pandang. Mereka seakan sudah mafhum kawan yang satu ini memang sudah dikodratkan menjadi orang paling songong di antara mereka.
Untungnya bersamaan dengan itu, ibu mereka sudah datang menjemput. Itu pertanda waktu makan siang untuk kemudian memasuki sesi rutin berikutnya, dipaksa tidur siang walau sesungguhnya mata tidak mengantuk. Tapi menurut Sodik, Usup dan Neneng itu jauh lebih baik. Ketimbang terjebak dalam situasi menjengkelkan melihat Kodrat seperti orang kesurupan yang terus-terusan bilang kece, seraya satu tangannya mengusung kertas bergambar, sedangkan jari-jari pada tangan satunya digerak-gerakkan seperti penari kecak dari Bali.
\”Eh, Kodrat sudah ah, jangan mutar-mutar begitu. Nanti kepalamu keliyengan, pusing!\” Kata ibu Kodrat yang datang bersama ibu Usup, Emak Sodik dan Mama Neneng.
Seperti anak-anaknya yang selalu bermain bersama di bawah pohon seri, keempat ibu itu juga seakan sudah kompak janjian setiap kali menjemput anaknya.
\”Oh, Kodrat lagi kampanye, Bu. Dia ngikutin kampanye Pilgub yang pernah kita tonton itu, lho,\” sergah Emak Sodik. Keempat anak dan keempat ibu itu memang terbilang kompak. Tak hanya sebatas kongkow bareng di bawah pohon seri, kedua kelompok generasi berbeda (ibu-anak) ini juga terbilang kompak nonton bareng kampanye Pilgub yang sekarang sedang ramai.
Tak heran kalau semua kampanye peserta Pilgub sudah pernah mereka sambangi. Ya mereka, para ibu dan gerombolan anak-anak itu, memang tak terpisahkan. Sebab tak mungkin ibu-ibu itu nonton orang kampanye, sementara anak mereka ditinggal karena memang tak ada orang di rumah. Kalau pun ditinggal bermain bersama di bawah pohon seri berlama-lama, para ibu itu was-was nanti ada yang kepalanya bocor saking semangat saling dorong berebut buah seri.
\”Iya…ya, Kodrat sedang kampanyekan Pak Ridho….kece. Pinter kamu,\” samber Ibu Kodrat percaya diri. Tak mau kalah, Ibu Usup juga menimpali, \”Wuih Usup pinter nie ngegambar Paslon nomor 3. Kalau dilihat-lihat gambarnya memang mirip Pak Herman, ya,\” ucapnya tak kalah pede.
Mama Neneng juga tak mau ketinggalan unjuk kebolehan anaknya. \”Neneng gambar apa? Oh, gambar Paslon nomor dua, toh. Wuih, gambar Pak Arinalnya mirip banget. Coba dibuat sedang pegang hape, Dek. Kayak sedang googling arti E-commerce. Pasti lebih yahud gambarnya,\” seloroh Mama Neneng dengan raut bangga.
Halaman : 1 2 Selanjutnya