Jakarta (Netizenku): Dewan Pers tidak berkewajiban memberikan bantuan hukum terhadap wartawan yang tidak mematuhi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 dan tidak melaksanakan kode etik jurnalistik (KEJ). Terlebih bila wartawan bersangkutan terkena delik hukum.
\”Jika wartawan itu melanggar UU No 40 Tahun 1999, tidak patuhi KEJ, seperti membuat berita tidak konfirmasi, pemberitaan tidak berimbang, dan mengandung kalimat negatif, maka pihak terkait boleh menerapkan hukuman diluar UU Pers,\” ungkap Ahmad Johan, Wakil Ketua Dewan Pers yang juga Ketua Harian SPS Pusat, saat memberikan arahan kepada rombongan safari jurnalistik PWI Kabupaten Tulangbawang Barat (Tubaba) ke PWI Pusat dan Dewan Pers, Kamis (1/3).
Sebaliknya, imbuh Johan, jika wartawan tersebut memberitakan dengan benar dan mematuhi Undang-Undang Pers, serta melaksanakan KEJ maka Dewan Pers wajib melindungi mereka. \”Hanya memang bantuan hukum tidak diberikan secara langsung. Kami juga meminta kesalahan wartawan dalam melakukan kerja jurnalis jangan sampai dibalas dengan penjara dan denda, tetapi disesuaikan dengan UU Pers seperti dengan memberikan hak jawab, minta maaf (diatur dalam mekanisme hak jawab KEJ),\” paparnya.
Hal itu juga dikuatkan oleh Sekretaris PWI Pusat, Hendri Ch Bangun. Menurutnya, wartawan yang dalam melaksanakan kerja jurnalisnya sesuai UU Pers dan kode etik tidak akan terkena kasus. Namun ketika Dewan Pers mendapatkan pengaduan terkait pemberitaan tersebut, maka pengaduan hal ini penyelesaiannya akan disesuaikan dengan UU Pers, yakni memberikan hak jawab dan permintaan maaf. \”Tapi kalau aduannya sudah memeras dan melanggar aturan bisa menggunakan UU lain,\” terangnya.
Ditambahkannya, dalam memberikan bantuan hukum, Dewan Pers lebih memprioritaskan kepada wartawan yang telah bersertifikat uji kompetensi. \”Kalau wartawan sudah kompeten berarti sudah diakui negara, dan berhak mendapatkan bantuan hukum,\” kata Hendri yang juga selaku Wakil Ketua Komisi pengaduan di Dewan Pers.
Kedepan, per Januari 2019, Dewan Pers akan melakukan sosialisasi dan menetapkan aturan yang berkaitan dengan narasumber berhak menolak wawancara atau konfirmasi dari wartawan yang belum dinyatakan kompeten. Wacana ini, terang Hendri, sudah dibicarakan sejak tahun 2017 dan Dewan Pers telah melakukan program uji kompetensi wartawan (UKW) serta akan terus dilakukan hingga akhir Desember 2018. \”Aturan ini sedang digodok, kemungkinan di bulan ini dikeluarkan,\” terangnya.
Ditambahkan pula oleh Johan, aturan ini diberlakukan sebagai upaya menepis wartawan abal-abal, wartawan tanpa surat kabar. Diterangkan olehnya, saat ini jumlah wartawan di Indonesia sudah mencapai 100 ribu. Sedangkan jumlah media massa mulai dari media cetak, elektronik dan online sudah mencapai 47 ribu, dengan jumlah terbanyak berupa media online yang mencapai 43 ribu bahkan lebih. \”Sementara wartawan yang dinyatakan kompeten baru berkisar seribu orang,\” tutupnya.(Arie)