Bandarlampung (Netizenku.com): Media nasional dihebohkan dengan kabar penonaktifan 75 orang pegawai KPK RI yang tak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK).
Sebelumnya, TWK yang merupakan asesmen dalam mekanisme alih status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) menimbulkan kontroversi karena terdapat beberapa pertanyaan yang ganjil.
Pertanyaan tersebut antara lain berkenaan dengan hasrat seksual, kesediaan untuk melepas jilbab, dan pandangan terhadap kaum LGBT.
Dalam siaran persnya, Senin (17/5), Pusat Kajian Masyarakat Anti Korupsi dan Hak Azasi Manusia (Puskamsikham) Fakultas Hukum Universitas Lampung (FH Unila), menilai, penonaktifan 75 pegawai KPK tersebut merupakan langkah yang tidak tepat.
Sebab, di antara 75 pegawai yang sekarang berstatus nonaktif, terdapat nama penyidik senior seperti Novel Baswedan, Iguh Sipurba, dan Harun Al Rasyid.
Kasus yang tengah ditangani oleh pegawai nonaktif juga merupakan kasus korupsi kelas berat, sebut saja kasus bansos covid-19, suap KPU, dan lainnya.
Puskamsikham juga merasa kebijakan penonaktifan tersebut akan menghambat jalannya penyidikan kasus kelas kakap tersebut.
Deretan peristiwa kontroversial nan ganjil ini semakin menodai citra KPK di mata publik, terlebih sejak dikomandani oleh Firli Bahuri. Masyarakat tentu masih terluka sejak disahkannya UU KPK yang membatasi kinerja KPK, namun kini langkah pelemahan malah datang dari dalam lembaga antirasuah itu sendiri, tak ubahnya seperti duri dalam daging.
\”Kepercayaan publik terhadap KPK jangan sampai rusak, terlebih lagi KPK saat ini tengah menangani kasus besar yang menyeret nama petinggi negara. Kembalikan fitrah KPK sebagai lembaga antikorupsi yang independen dan profesional,\” terang Reynaldy Amrullah selaku Direktur Puskamsikham FH Unila.
Peneliti Puskamsikham FH Unila, Ridho Ardiansyah, menambahkan KPK seharusnya berfokus kepada penanganan kasus yang sudah lama mangkrak, yakni kasus Bank Century, E-KTP, Bansos Sembako Kemensos, Pengadaan Helikopter AW, dan pengembangan kasus mantan Bupati Malang, Rendra Kresna.
\”Bukan malah menimbulkan sensasi dan kontroversi lewat kebijakan yang sarat akan kepentingan oligarki,\” ujar Ridho. (Josua)