Merapat ke Markas Tempo

Hendri Setiadi

Sabtu, 29 Maret 2025 - 21:45 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Penulis saat berada di kantor Tempo. (foto: dok pribadi)

Penulis saat berada di kantor Tempo. (foto: dok pribadi)

Anda punya idola? Bertemu sosok idaman tentu membikin girang. Apalagi bila menyambangi langsung “kediaman” sang tokoh. Pasti senang bukan kepalang. Begitu kira-kira yang saya rasa ketika akhir Februari 2025 lalu, berkesempatan bertandang ke Gedung Tempo. Markas redaksi media yang majalahnya sudah saya baca semenjak masih mahasiswa.

(Netizenku.com): Sosok gedung yang berada di Jalan Palmerah Barat, Jakarta Selatan, ini menjulang tinggi. Saya tidak tahu persis jumlah lantainya. Saya juga tak sempat mencari tahu, lantaran sejak awal menjejakkan kaki di pelataran gedung, saya sudah terpukau.

Sambil melangkah menuju pintu masuk saya menyapukan pandangan. Saya juga melihat pos penjaga di sisi kiri jalan masuk. Dalam hati saya bergumam, “Kalau dulu orang tua saya mengizinkan saya merantau ke Jakarta, bisa jadi saya sudah bekerja di gedung ini. Karena cita-cita awal saya memang kepingin banget menjadi wartawan Tempo. Dan langkah kaki saya bakal kerap hilir mudik di gedung ini. Ulala…kerja yang mengasyikkan”.

Namun Tuhan tak menghendaki cita-cita tersebut terwujud, maka saya harus cukup puas menjadi wartawan lokal, sambil tetap terus memelihara kekaguman pada majalah legendaris ini. Untungnya, Tuhan berbaik hati. Memberi kesempatan saya untuk bertandang ke sini. Datang sebagai pengagum. Tepatnya menjadi “murid”.

Baca Juga  Kemenag Lampung Serahkan 54 Nama Tim Pemandu Haji Daerah

Ya, sebagai pembelajar. Saya memang datang bersama rombongan Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Wilayah Lampung. Kami berniat menuntut ilmu di Tempo Institute. Mencoba menyadap teknik yang dipakai Tempo dalam mengelola website. Tak hanya itu, para awak redaktur juga berkenan membagi banyak pengalaman. Termasuk bocoran cara redaksi Tempo memperoleh berita-berita eksklusif yang terbukti mampu menyedot perhatian khalayak luas.

Durasi belajar sejak pagi hingga sore itu saya rasa berlalu terlalu singkat. Apalagi mengingat ilmu yang didapat “daging” semua. Ditambah lagi, melalui momen itu, saya bisa berinteraksi langsung dengan jurnalis-jurnalis profesional, penjaga kualitas isi Tempo.

Mungkin akan ada yang menilai sikap saya terlampau berlebihan dalam memandang Tempo. Saya tak peduli. Karena bagi saya, hanya Tempo yang menjadi kiblat sekaligus penyemangat untuk saya tetap menjadi jurnalis hingga hari ini. Media lain tentu juga bagus. Tapi tidak sampai menjadi spirit buat saya. Ini memang menjadi wilayah sangat privat bagi saya.

Kekaguman saya terus berlanjut. Di sela waktu istirahat belajar, saya sempat memperhatikan newsroom Tempo yang luas. Meja dan kursi terhampar, tertata estetik. Sama sekali tak mengesankan ruang redaksi yang kaku. Belum lagi pada beberapa bagian, dinding kantor dipasangi foto-foto tokoh nasional. Ada foto Gus Dur. Lalu Munir yang dikenal sebagai sosok pejuang hak asasi manusia. Serta masih banyak foto-foto tokoh ternama lainnya. Tapi saya cari-cari tidak terlihat foto Jokowi. Hmmm…!

Baca Juga  Prabowo = Arinal?

Yang tidak kalah menarik ialah saat saya memperhatikan perilaku orang-orang di sana. Mereka terlihat berkutat dengan pekerjaan masing-masing. Rata-rata pandangannya terpaku ke layar laptop. Biar pun terkesan serius, tapi tak terusik dengan kehadiran anak-anak AMSI Lampung yang sedang “travel room” berseliweran di antara meja-meja kerja mereka. Tidak ada satu pun yang menegur gerak langkah kami yang pecicilan itu. Tidak ada pula yang memasang wajah keras, lantaran merasa terganggu. Sebaliknya, beberapa senyum mengembang dari wajah mereka. Seakan bilang, “Selamat datang di Tempo”.

Atau mungkin pula mereka telah memiliki kesadaran tinggi bahwa Tempo sudah menjadi milik publik. Kami yang bertandang di sini, dianggap sebagai bagian dari publik itu. Dan Tempo memang berencana menjadikan publik sebagai penyokong penuh dalam menjaga eksistensi mereka, melalui program berlangganan berbayar Tempo digital.

Tidak seperti media kebanyakan yang menyasar iklan, termasuk kerja sama dengan pemerintah, sebagai tulang punggung utama penjaga keberlangsungan media, Tempo justru tak terlalu menggubrisnya. Apalagi redaksi Tempo masih tetap setia memasang tegak tembok api atau firewall dengan bagian usaha. Sehingga pemberitaan redaksi tidak sedikit pun terpengaruh oleh berbagai kerja sama yang tengah diurusi bagian bisnis. Untuk satu prinsip ini saja saya sudah cukup dibuat geleng-geleng kepala. Sungguh suatu hal yang sangat berat buat diterapkan di media gurem milik saya, misalnya.

Baca Juga  Deflasi Februari 2025 Cuma Numpang Lewat, Berikutnya Waspadai Gejolak Inflasi Barang Pangan dan Pendidikan

Tapi waktu terus beringsut. Saatnya saya mengakhiri perjalanan “kebatinan” ini. Dengan berat hati saya melangkah ke luar gedung Tempo. Di pelataran, sebelum masuk ke dalam kendaraan, saya menyempatkan diri kembali menengok ke arah pos satpam. Untuk kemudian meninggalkan seulas senyum ke arah gedung Markas Tempo.

Sebulan kemudian, saya mendapati berita berseliweran. Kantor Tempo dikirimi paket kepala babi tanpa daun telinga. Paket teror itu sempat mampir ke pos penjaga yang pernah saya lihat. Dalam hati saya membatin. Ternyata Tempo bukan hanya penting bagi orang-orang seperti saya yang mengaguminya. Tetapi juga menjadi penting bagi para pembencinya. Mereka berkepentingan untuk membungkam independensi dan keberanian Tempo. Lawan! (*)

Berita Terkait

Belajar Menambal Kredibilitas dari The New York Times
Obrolan Wartawan di Sela Ketupat Lebaran
Wartawan, Storyteller yang Bukan Pengarang Bebas
Kita Pernah Punya Wartawan Jihad, Kapan Ada Lagi?
Tak Perlu Kepala Babi dan Bangkai Tikus untuk Membuat Kicep
Kebohongan Resmi dan Keterangan Palsu
Jurnalis dan Macan dalam Kandang
Antara Eka, Taring dan Bodyguard

Berita Terkait

Selasa, 1 April 2025 - 12:37 WIB

Belajar Menambal Kredibilitas dari The New York Times

Senin, 31 Maret 2025 - 20:48 WIB

Obrolan Wartawan di Sela Ketupat Lebaran

Minggu, 30 Maret 2025 - 17:53 WIB

Wartawan, Storyteller yang Bukan Pengarang Bebas

Sabtu, 29 Maret 2025 - 21:45 WIB

Merapat ke Markas Tempo

Rabu, 26 Maret 2025 - 22:34 WIB

Tak Perlu Kepala Babi dan Bangkai Tikus untuk Membuat Kicep

Senin, 24 Maret 2025 - 05:01 WIB

Kebohongan Resmi dan Keterangan Palsu

Rabu, 19 Maret 2025 - 14:27 WIB

Jurnalis dan Macan dalam Kandang

Kamis, 6 Maret 2025 - 21:37 WIB

Antara Eka, Taring dan Bodyguard

Berita Terbaru

Buku The New York Times karya Ignatius Haryanto. (foto: koleksi pribadi)

Celoteh

Belajar Menambal Kredibilitas dari The New York Times

Selasa, 1 Apr 2025 - 12:37 WIB

Ketupat (foto: ist)

Celoteh

Obrolan Wartawan di Sela Ketupat Lebaran

Senin, 31 Mar 2025 - 20:48 WIB

Ilustrasi buku jurnalisme sastrawi. (foto: dok pribadi)

Celoteh

Wartawan, Storyteller yang Bukan Pengarang Bebas

Minggu, 30 Mar 2025 - 17:53 WIB

Penulis saat berada di kantor Tempo. (foto: dok pribadi)

Celoteh

Merapat ke Markas Tempo

Sabtu, 29 Mar 2025 - 21:45 WIB