Bandarlampung (Netizenku.com): Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Bandarlampung mencatat berbagai peristiwa terkait kebebasan pers dan kondisi jurnalis sepanjang 2020.
Tiga hal yang menjadi catatan penting, yaitu kekerasan, dampak pandemi, dan persidangan kasus korupsi yang menyebut nama jurnalis.
Kekerasan terhadap jurnalis
Sepanjang 2020, Bidang Advokasi AJI Bandarlampung mencatat sembilan jurnalis yang mengalami kekerasan.
Perinciannya, empat jurnalis mengalami intimidasi, dua jurnalis menerima ancaman, dua jurnalis mengalami kekerasan fisik, dan seorang jurnalis digugat secara perdata.
Intimidasi terhadap empat jurnalis ketika meliput aksi menolak Omnibus Law atau dikenal #MosiTidakPercaya, 7-8 Oktober 2020.
Pada 7 Oktober, jurnalis lampungsegalow.co.id dan jurnalis Lampungone.com meliput kericuhan antara para pedemo dengan aparat.
Mereka merekam aksi aparat yang sedang memukuli siswa SMA menggunakan besi dan kayu. Kemudian, oknum polisi membentak mereka dan memaksa agar menghapus rekaman video.
Pada 8 Oktober, jurnalis Radar Lampung Radio dan jurnalis Metro TV mengambil video penyisiran sejumlah titik, dimana aparat menghalau pelajar yang hendak mengikuti aksi di Bundaran Tugu Adipura. Mereka kemudian dipaksa oknum polisi untuk menghapus foto dan rekaman video aparat memukuli para siswa.
Merespon hal tersebut, AJI Bandarlampung dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Lampung membuka posko pengaduan bagi jurnalis yang mengalami kekerasan sepanjang demo Omnibus Law.
Bukannya memeriksa anggotanya, Polresta Bandarlampung malah memanggil Ketua AJI Bandarlampung Hendry Sihaloho. Polisi juga sempat memeriksa jurnalis yang menjadi korban intimidasi.
Sedangkan jurnalis yang menerima ancaman adalah jurnalis RMOL Lampung Tuti Nurkhomariyah dan jurnalis Lampung TV Dedy Kapriyanto.
Tuti mendapat ancaman dari Gubernur Lampung Arinal Djunaidi pada 3 Maret 2020. Di hadapan kepala dinas dan sejumlah jurnalis, Arinal berbicara kepada Tuti,\”Kalau kamu itu, mulai hari ini kamu akan saya pelajari sudahlah kamu beritakan yang baik-baik saja.
Arinal juga berkata,\”Apalagi sudah pakai kerudung, samina wa athona. Jangan sampai nanti innalillahi wainna ilaihi rojiun.\”
Kemudian, ancaman terhadap Dedy saat mewawancarai Wali Kota Bandarlampung Herman HN di DPRD Bandar Lampung, Senin, 9 November 2020.
Dalam rekaman video, Herman tampak kesal ketika Dedy meminta tanggapannya ihwal Kepala Bappeda yang turut menyosialisasikan salah satu calon wali kota.
Kala ditanya lebih lanjut, Herman berkata,\”Beritakanlah, pecah kepala kamu. Kamu jangan seenak-enaknya. Kamu belum tahu saya?\”
Adapun jurnalis yang menerima serangan fisik, yakni kontributor SCTV-Indosiar Ardy Yohaba. Waktu itu, Ardy meminta konfirmasi ihwal kericuhan pertandingan Sepak Bola Piala Bupati Cup.
Ardy menyatakan, sebelum pemukulan, Ketua Panitia Juanda Basri lebih dahulu merampas kameranya. Saat itu, baterai kameranya belum dikembalikan, sedangkan kamera sudah dipulangkan. Akibat pemukulan tersebut, Ardy terluka di bagian pelipis sebelah kanan.
Jurnalis lain yang mengalami kekerasan secara fisik adalah Junaidi Romli dari galangnusantara.id. Waktu itu, Junaidi dihubungi oknum preman berinisial HI.
Mereka kemudian bertemu di ruang Sekretaris Dinas Kesehatan Tulangbawang Lasmini. Pemanggilan Junaidi terkait pemberitaan berjudul \’RSUD Menggala dan Dinkes Tuba Terkesan Lalai\’.
Junaidi mengaku dibekap dalam ruangan itu. Selain membekap, oknum preman mengancam akan membunuh Junaidi.
Lalu, jurnalis yang digugat secara perdata, yaitu Eko Wahyu dari BeritaKharisma.com. Penggugatnya seorang advokat bernama Alif Sugerly Masyono.
Alif adalah mantan Kuasa Hukum I, penyintas kekerasan seksual. Dia mempersoalkan berita Eko bahwa dirinya membuat perdamaian dengan pelaku. Tak terima, Alif menggugat Eko ke Pengadilan Negeri (PN) Kota Metro.
Secara umum, pelaku kekerasan terhadap jurnalis dari berbagai kalangan, seperti pejabat publik, aparat, dan pengurus organisasi.
Artinya, pelaku kekerasan terhadap jurnalis adalah orang-orang yang berpendidikan. AJI mengecam segala bentuk kekerasan terhadap jurnalis.
Terlebih, kekerasan itu terkait kerja-kerja jurnalistik para jurnalis. AJI meminta keberatan terhadap karya jurnalistik ditempuh dengan mekanisme yang diatur dalam UU 40/1999 tentang Pers.
Bila dibandingkan pada 2019, kasus kekerasan terhadap jurnalis di Lampung meningkat pada 2020.
Tahun lalu, terdapat enam kasus terkait kebebasan pers. Perinciannya, dua kasus intimidasi terhadap jurnalis, satu kasus pengusiran jurnalis, satu kasus pelarangan peliputan, satu kasus pelecehan profesi jurnalis, dan satu kasus etik.
Pandemi
Pandemi Covid-19 sejak Maret 2020 memberikan dampak terhadap perusahaan media di Lampung. AJI menerima laporan bahwa beberapa perusahaan media menempuh langkah efisiensi, seperti memangkas karyawan dan memotong tunjangan makan serta transportasi.
Kemudian, perusahaan media memotong upah jurnalis. Sejumlah perusahaan pers dilaporkan menunda pembayaran upah jurnalis.
Pandemi juga berdampak pada performa bagian redaksi perusahaan media. Jam kerja menjadi tidak menentu dan lebih panjang.
Beban kerja menjadi lebih banyak karena ada pengurangan karyawan di tingkat pusat dan pengurangan biaya produksi, sehingga memengaruhi kualitas konten/program.
AJI juga menerima laporan bahwa terdapat perusahaan media yang abai melindungi pekerja dari penyebaran Virus Korona.
Misal, tidak memenuhi alat pelindung diri dan memfasilitasi tes, baik PCR atau antigen. Padahal, jurnalis rentan terpapar virus karena aktivitasnya yang mobile.
Kasus Korupsi
Sepanjang 2020, AJI Bandarlampung mencatat beberapa pelanggaran etik jurnalis. Dalam sidang perkara suap proyek di Dinas PU-PR dan Dinas Perdagangan Lampung Utara terungkap bahwa ada anggaran untuk oknum wartawan, yakni sebesar Rp600 juta. Uang tersebut mengalir ke sejumlah jurnalis.
Kasus lainnya, empat jurnalis, yaitu Agus Mariadi (SKU Merdeka 45), Basriyadi (Advokat News), Apria dan Amroni (Dinamika Lampung News) diduga meminta uang kepada guru SMKN 1 Banjit, Kabupaten Way Kanan, sebesar Rp2 Juta.
Uang tersebut sebagai syarat agar tidak dilaporkan karena diduga menyimpangkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Berikutnya, dua oknum wartawan berinisial AM dan DP ditangkap pihak kepolisian pada sabtu, 25 Januari 2020. Keduanya ditetapkan sebagai tersangka terkait kasus pemerasan karyawan bank di Bandar Lampung berinisial IN.
Pada 2019, nama jurnalis juga disebut dalam sejumlah kasus korupsi. Kasus dimaksud antara lain fee proyek di Lampung Selatan dan paket proyek di Dinas PU-PR Mesuji.
AJI Bandarlampung menyesalkan perilaku oknum wartawan yang turut bermain proyek. Seyogianya mereka tidak ikut, apalagi sampai terlibat. Sebaliknya, wartawan mesti mengawasi pelaksanaan sebuah proyek agar tidak menyimpang, terlebih itu memakai uang rakyat.
Oknum jurnalis yang main proyek bukan saja mencoreng profesi pewarta, tapi juga melanggar Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Dalam Pasal 6 KEJ disebutkan bahwa wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.
Penafsirannya, menyalahgunakan profesi yakni segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum.
Sedangkan suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang memengaruhi independensi.
AJI memandang perilaku tersebut dapat memperburuk citra profesi jurnalis di masyarakat. Hal ini bisa memengaruhi tingkat kepercayaan publik terhadap media.
Padahal, mereka yang bekerja sebagai jurnalis punya tanggung jawab secara moral. Terutama, menjaga kepercayaan publik dengan tidak menyalahgunakan profesi dalam bentuk apapun.
Kebebasan berpendapat dan berekspresi
AJI juga memberi perhatian pada perkembangan kebebasan berpendapat dan berekspresi di Lampung. Selain kebebasan pers dan kesejahteraan jurnalis, salah satu misi AJI adalah mengembangkan demokrasi dan keberagaman.
Selama tahun ini, AJI mencatat dua kasus terkait pelanggaran kebebasan berpendapat dan berekspresi. Pertama, teror dan peretasan terhadap pengurus Teknokra Universitas Lampung (Unila), Chairul Rahman Arif dan Mitha Setiani Asih.
Keduanya mendapat teror dan peretasan menjelang diskusi publik bertajuk Diskriminasi Rasial Terhadap Papua yang digelar Teknokra secara virtual, Kamis, 11 Juni 2020.
Teror dan peretasan itu membuat Chairul dan Mitha mengungsi sementara ke Sekretariat AJI Bandarlampung. Mereka akhirnya menumpang di rumah aman.
Kasus ini telah dilaporkan ke Polda Lampung, namun ditolak. Alasannya, pelaporan perlu dilengkapi dengan bukti tertulis dari psikiater ihwal dampak yang dialami akibat teror tersebut.
Alhasil, polisi menerima kasus itu sebagai laporan informasi. Meski demikian, dalam beberapa kesempatan, pihak Polda Lampung tidak dapat menjelaskan ketika ditanya ihwal perkembangan kasus dimaksud.
Kasus kedua, aksi sweeping terhadap warga sipil di sejumlah titik pada aksi #MosiTidakPercaya, 7-8 Oktober.
Waktu itu, polisi menyisir beberapa titik di kawasan Bundaran Tugu Adipura. Mereka menghalau warga yang hendak menyampaikan aspirasi pada demo menolak Omnibus Law.
AJI berpendapat, aksi sweeping oleh aparat berpotensi melanggar HAM. Sebab, konstitusi menjamin warga negara untuk menyampaikan pendapat. Mereka yang terjaring sweeping pun tanpa proses hukum secara adil.
Aksi sweeping oleh aparat tidak bisa dipisahkan dari surat telegram kapolri. Dalam telegram itu, kapolri memerintahkan para kapolda di masing-masing daerah untuk meredam dan mencegah aksi demonstrasi ihwal Omnibus Law. Perintah itu bertentangan dengan konstitusi.
Mengapa bertentangan? Karena kebebasan berekspresi maupun menyampaikan pendapat dijamin konstitusi republik ini.
Pada 2019, pelanggaran terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi tercatat satu kasus, yaitu pembubaran acara menonton bareng film Kucumbu Tubuh Indahku.
Artinya, dalam dua tahun berturut-turut, terjadi pelanggaran terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Padahal, kebebasan berpendapat dan berekspresi bagian dari hak publik yang perlu mendapat perlindungan dan penghormatan. (Josua)