Jauh sebelum memegang kendali Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Provinsi Lampung, Umar Ahmad (UA) sudah kerap mengenakan topi caping. Adakah filosofi disebalik tampilan itu?
Saya menganggapnya jelas ada. Walau UA sendiri belum pernah menjelaskan secara eksplisit tentang topi caping yang acapkali dipakainya pada berbagai kesempatan.
Terlepas dari itu, topi caping terlanjur identik dengan petani. Sedikit ke luar jalur, secara kebetulan saya dan UA sama-sama pernah menimba ilmu di Fakultas Pertanian, Unila. Jurusan sosial ekonomi pertanian. Pembedanya, saya angkatan tahun ‘92 sedangkan UA angkatan ‘98.
Pembeda lain yang sangat kentara tentu saja garis tangan. Saya bukan siapa-siapa, sedangkan UA mengejawantah menjadi sesuatu. Saya curcol (curhat colongan). Abaikan saja!
Kembali ke urusan caping, selanjutnya saya mau bilang kalau dunia pertanian bukan hal baru bagi UA. Ditambah lagi kampung halamannya di Tulangbawang Barat (Tubaba) yang ketika itu masih menjadi wilayah bagian Kabupaten Tulangbawang. Fix sudah, persinggungan latar belakang dan pendidikan yang dikenyam tersimpul di satu titik; pertanian.
Dengan kata lain, tidak aneh bila kemudian UA kerap memakai topi caping, kendati tentu sesungguhnya dia punya kebebasan memilih jenis topi yang akan dikenakan.
Filosofi lain, masih menurut sudut pandang saya, topi caping yang menjadi teman setia petani, sekaligus sebagai andalan penghalau sengatan terik matahari saat berada di sawah, memiliki peran penting kendati bahan dan bentuknya bersahaja. Nilai kesederhanaan itu agaknya yang ingin terus diselami UA. Meleburkan diri, menghilangkan jarak.
Kalau mau ditambahkan lagi, topi caping yang sering dipakai UA ada yang menyebutnya dengan istilah tikew. Tikew itu sendiri merupakan tumbuhan yang dianyam dan bisa dijadikan tikar (appay) atau juga topi. Di Tubaba (UA pernah dua periode menjadi kepala daerah di sana) praktik tradisional serupa ini masih terus dikembangkan.
Tikew (tikar) juga memiliki kedekatan emosionil dengan warga. Saat seseorang dilahirkan dan kemudian menutup mata juga kerap bersentuhan dengan tikar. Bayi lahir diletakkan di atas tikar, jenazah pun direbahkan beralas tikar.
Material tikew yang hadir pada kedua prosesi penting bagi awal dan akhir kehidupan manusia itu yang kini kerap ‘nemplok’ di kepala UA. Bukan tidak mungkin itu dimaknai sebagai simbol. Serupa pengingat, bahwa sehebat apa pun sepak terjangnya di muka bumi, kelak usai dibalut kain kafan juga akan dilapisi tikew bersahaja itu.
Ah, sudahlah. Sangat mungkin hipotesa saya ini akan dibilang tak ubahnya ilmu cocoklogi belaka. Meski saya akan tetap bersikukuh dengan penilaian tersebut. Kok sengotot itu?
Saya beranggapan seseorang yang terobsesi terhadap sesuatu, senantiasa memelihara obsesi itu di dalam benak dan kerap tercermin pada tindak tanduknya. Contoh sederhananya kalau ada pria mengidamkan motor Harley Davidson, tetapi kemampuan finansial tidak mendukung, sangat mungkin obsesi itu disalurkan melalui cara yang paling sederhana. Mengenakan kaos bermotif Harley Davidson, misalnya. Pokoknya akan ada “banyak jalan menuju Roma”.
Demikian pula dengan UA, lagi-lagi menurut pendapat saya. Obsesi dunia pertanian yang sudah melekat semenjak lama di alam pikirnya kerap dia cerminkan melalui topi caping di kepalanya.
Hingga obsesi besar yang memenuhi alam bawah sadarnya itu kemudian menggelegak menjadi power dan sukses mengantarkannya pada kursi nakhoda HKTI Lampung. Dream come true. Kesempatan ini jelas tak disia-siakan.
10 Maret 2019 UA didapuk sebagai ketua DPD HKTI Lampung, kemudian mengusung slogan Revolusi Pertanian, dan tak butuh waktu lama ia segera diganjar penghargaan sebagai Ketua DPD HKTI Terbaik se-Indonesia. Tentu ini bukan torehan prestasi yang mudah buat diraih.
Sudah pasti menuntut adanya orientasi yang jelas, jiwa leadership, dan bukan tidak mungkin juga membutuhkan passion akan dunia pertanian yang tidak karbitan. Ini jelas memerlukan proses panjang. Dan proses tidak sebentar itu sejak awal sudah kentara. Tergambar lewat topi caping yang kerap dipakai UA.
Ini tulisan yang semata dilandasi paradigma ilmu cocoklogi? mungkin saja. Tapi yang lebih bermanfaat untuk dicermati adalah kinerja UA di HKTI Lampung. Mampukah dirinya mewujudkan Revolusi Pertanian. Dan tidak berhenti sebatas slogan. Agar petani benar-benar berjaya, dan tak lagi bertopang dagu bagai pungguk merindukan bulan. (Hendri Std)