Bandarlampung (Netizenku.com): Komisioner KPU RI Pramono Ubaid Thantowi menyampaikan kekhawatirannya apabila Pemilu Serentak 2024 tetap dilaksanakan.
Pemilu Nasional akan dilaksanakan pada April 2024 dengan 5 surat suara; Pilpres, Pemilu DPD, Pemilu DPR RI, Pemilu DPRD Provinsi, Pemilu DPRD Kab/Kota.
Sementara Pilkada digelar pada November 2024 dengan 2 surat suara; Pilgub dengan Pemilihan Bupati atau Pilgub dengan Pemilihan Wali Kota.
\”Konsekuensinya adalah jarak waktu yang terlalu dekat, terjadi banyak irisan tahapan. Mirip bahkan lebih tebal dari irisan tahapan Pemilu 2019 dengan Pilkada Serentak 2018,\” kata Pramono, Minggu (7/2) siang, dalam Diskusi Daring \”Pemilu dan Pilkada 2024: Realistiskah?\” yang diadakan Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah.
Kemudian kebutuhan anggaran yang sangat besar untuk membiayai penyelenggaraan Pemilu Nasional (APBN) dan Pilkada (APBD).
Dan beban penyelenggaraan yang tinggi bagi KPU dan jajarannya untuk menyelenggarakan Pemilu Nasional dengan desain keserentakan.
\”Belajar dari Pemilu lalu, pada 26 April 2019 dalam refleksi penyelenggaraan Pemilu 2019, saya mengatakan pemilu serentak dengan metode penyelenggaraan seperti itu, harus menjadi yang pertama dan terakhir,\” tegas Ketua Bawaslu Banten 2012-2017 ini.
Menurut Pramono, Pemilu Serentak 2019 terbukti secara teknis telah melampaui batas kemampuan tubuh manusia pada umumnya.
\”Melampaui kapasitas KPU dalam mempersiapkan logistik dan melayani pemilih. Secara fisik, beban pekerjaan yang berlebihan mengakibatkan sejumlah besar kecelakaan kerja pada badan penyelenggara adhoc; 894 orang meninggal dunia dan 5.175 orang jatuh sakit,\” ujar Pramono.
Pemilihan serentak, secara sistem juga membuat pemilih kesulitan menentukan pilihan, terutama Calon Anggota DPD, DPR, DPRD.
Dan secara teknis, muncul masalah ketersediaan logistik dan pelayanan pemilih yang berakibat pada 705 tempat pemungutan suara (TPS) harus Pemungutan Suara Ulang (PSU), 2.260 TPS harus dilakukan Pemilu Susulan, dan 296 TPS harus dilakukan Pemilu Lanjutan.
Menurut Pramono, hal itu disebabkan Pemilu lima surat suara akan mengakibatkan pemilih perlu waktu lebih lama untuk mencoblos surat suara.
Secara rata-rata perlu 5-7 menit. Pemilih muda perlu 3-5 menit. Pemilih tua perlu 7-9 menit. Pemilih disabilitas perlu 9-11 menit.
Pemungutan suara tetap dapat diselesaikan pada pukul 13.00 Wib. Namun jumlah pemilih per-TPS diturunkan dari maksimal 500 menjadi maksimal 300 orang.
Jumlah TPS bertambah besar dari (545.803 Pileg dan 478.339 Pilpres) pada Pemilu 2014 menjadi 810.329 pada Pemilu 2019 Konsekuensinya, biaya penyelenggaraan Pemilu membengkak.
\”Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) membutuhkan waktu lebih lama untuk menghitung dan membuat Salinan C-1,\” kata dia.
Dari hasil evaluasi Pemilu 2019, KPPS perlu kurang lebih 45-60 menit untuk menghitung surat suara Pilpres dan Pemilu DPD.
KPPS perlu kurang lebih 90-105 menit menghitung surat suara Pemilu DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kab/Kota.
Proses penghitungan suara selesai antara Pukul 23.00-24.00 Wib. Perlu waktu untuk menyalin dari Form C-Plano ke Form C-1, serta membuat rangkapannya sesuai jumlah kebutuhan.
\”Semua pekerjaan tuntas hingga dini hari, bahkan tidak jarang melebihi 24 jam sejak TPS dibuka (pukul 7.00 Wib),\” ujar dia.
Alumni Fakultas Syari\’ah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini menyampaikan cara untuk mengurangi beban penyelenggaraan jika Pemilu Nasional tetap dilaksanakan dengan desain kesentakan 5 surat suara.
\”Dibuka peluang memberikan suara melalui early voting (selain datang ke TPS pada hari H), untuk mengurangi jumlah pemilih yang datang ke TPS,\” kata Pramono.
Penyelenggara juga dapat menerapkan Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) untuk meringankan beban KPPS dalam menyalin Form C-Plano dan menyederhanakan proses rekapitulasi (yang selama ini dilakukan manual dan berjenjang).
Namun, lanjut dia, dua alternatif solusi di atas hanya sedikit mengurangi beban bagi Penyelenggaraan Pemilu. Bagi penyelenggara pemilu, masih ada masalah yaitu irisan tahapan akan tetap terjadi.
\”Masalah terbesar ada pada beban logistik. Kemudian masalah-masalah di luar soal teknis penyelenggaraan seperti pemilih masih akan tetap kesulitan memilah nasional-lokal, isu eksekutif-legislatif, dan parpol akan kesulitan dalam proses pencalonan,\” pungkas dia. (Josua)