Bandarlampung (Netizenku.com): KPU RI melalui program Desa Peduli Pemilu dan Pemilihan berupaya meningkatkan partisipasi pemilih mandiri dan rasional di Pemilu Serentak 2024.
Program yang disusun sejak awal tahun 2021 ini, akan dilaksanakan di 68 desa yang tersebar di 34 provinsi sebagai pilot project.
Saat membuka Webinar I Program Desa Peduli Pemilu dan Pemilihan dengan tema “Demokrasi Pemilu dan Partisipasi” pada Jumat (3/9), Ketua KPU RI Ilham Saputra dalam sambutannya menjelaskan arti pemilih mandiri dan rasional.
“Pemilih yang memilih karena visi dan misi, pemilih yang memilih karena track record pasangan calon dan partai politik, pemilih yahg memilih karena dia sadar apa dan siapa yang dipilih, dan partai apa yang dipilih, akan menentukan masa depannya ke depan selama 5 tahun,” ujar dia.
Dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemilu dan pemilihan yang lalu, kata Ilham, ada beberapa hal menjadi catatan bagi KPU RI.
Masih ditemukan intimidasi kepada masyarakat untuk memilih pasangan calon tertentu, dan masih ada kejadian masyarakat diiming-imingi dengan politik uang.
“Sehingga masyarakat tidak memilih berdasarkan apa yang ingin dia pilih atau hati nurani atau berdasarkan visi dan misi,” kata dia.
Melalui program Desa Peduli Pemilu dan Pemilihan ini, lanjut Ilham, KPU ingin menegaskan bahwa masyarakat paham akan demokrasi substansial, berpikir kritis, dan ikut berpartisipasi sebagai penyelenggara pemilu.
Sehingga diharapkan pemilih tidak lagi berorientasi pada kepentingan jangka pendek seperti uang, kekuasaan, dan kompensasi politik yang bersifat individual. Akan tetapi pilihan politik diberikan kepada partai politik dan kandidat yang memiliki kompetensi dan integritas.
Kearifan Lokal Perkuat Demokrasi Substansial
KPU Provinsi Lampung pada Rabu, 25 Agustus 2021, telah menandatangani kerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Tanggamus untuk menyelenggarakan Desa Peduli Pemilu dan Pemilihan di dua desa, yaitu Pekon Gunung Kasih, Kecamatan Pugung, dan Pekon Sukabanjar, Kecamatan Gunung Alip.
Anggota KPU Provinsi Lampung Divisi Sosialisasi Pendidikan Pemilih dan Partisipasi Masyarakat, Antoniyus Cahyalana, mengatakan kedua desa tersebut dipilih karena memiliki tingkat partisipasi di bawah 50% pada Pemilu 2019 lalu.
“Pekon Gunung Kasih dengan tingkat partisipasi pemilih 42,79% dan Pekon Sukabanjar dengan tingkat partisipasi 49,46%,” kata dia ketika dihubungi Netizenku pada Sabtu (4/9) sore.
Rendahnya partisipasi pemilih di pemilu, lanjut dia, dipengaruhi oleh beberapa faktor yang terbagi dalam dua garis besar, faktor internal dan eksternal.
Faktor internal disebabkan faktor teknis dan faktor pekerjaan. Sementara faktor eksternal terbagi dalam 3 garis besar yakni administrasi, sosialiasi, dan politik.
“Faktor teknis seperti pemilih tidak terdata di daftar pemilih tetap (DPT), tidak dapat undangan pemilih, dan kurangnya sosialisasi jadwal pelaksanaan pencoblosan di tempat pemungutan suara (TPS). Itu yang kita coba telusuri,” ujar dia.
Baca Juga: Ketidakpercayaan pada Parpol Ancam Partisipasi Pemilih
Antoniyus mengatakan program Desa Peduli Pemilu dan Pemilihan diharapkan akan meningkatkan partisipasi pemilih dengan menggali kearifan lokal masyarakat desa setempat untuk dikembangkan yang kemudian mengokohkan demokrasi substansial.
“Nilai-nilai dasar demokrasi itu sudah ada di tingkat masyarakat desa seperti gotong royong, sikap saling menghargai, tenggang rasa, dan keterbukaan,” ujar dia.
Dekan Fakultas Politik Pemerintahan IPDN, DR Muhadam Labolo, dalam webinar Desa Peduli Pemilu dan Pemilihan Seri 1 bersama Ketua KPU RI dan sejumlah narasumber, mengatakan desa dalam konteks politik, memiliki sifat-sifat otoritas tradisional, hubungan patron klien yang kuat, dominasi figur, hubungan emosional, dan hubungan kekeluargaan, dengan masyarakat yang homogen.
Antoniyus mengatakan pendapat Muhadam Labolo tersebut menarik jika berangkat dari asumsi awal bahwa kearifan lokal bisa membentuk karakter demokrasi masyarakat yang kuat.
Menurut dia, sifat-sifat desa yang demikian secara positif menumbuhkan sikap gotong royong, namun secara negatif dengan sistem demokrasi yang dianut saat ini, demokrasi prosedural, hal itu rentan untuk dimanfaatkan.
“Di desa yang komunitasnya masih kuat kekerabatannya, karena pemimpinnya patron klien, kalau dibilang A, bisa A. Beda dengan masyarakat kota, pemimpin itu belum tentu panutan bagi mereka. Kecuali kadang-kadang intervensinya bersifat materil,” ujar dia. (Josua)