Inflasi tahunan (yoy) Lampung pada November 2025 tercatat hanya 1,14 persen, menempatkan provinsi ini sebagai salah satu daerah dengan tekanan harga paling rendah di Sumatera. Angkanya bahkan lebih rendah dibanding inflasi nasional beberapa bulan terakhir yang bergerak di kisaran 2–3 persen. Pertanyaannya, apakah ini sekadar fenomena musiman, ataukah hasil dari kombinasi faktor struktural yang berhasil mengimbangi tekanan harga dari sisi pangan dan administered prices?
Tanpa bermaksud jumawa, pemberitaan soal inflasi di provinsi ini tidak seksi lagi. Nyaris tak ada ancaman berarti. Harga-harga terkendali karena sistem pengendali berjalan baik. Data BPS menunjukkan inflasi November 2025 terjadi di sebagian besar kelompok pengeluaran, namun secara umum tekanannya terkendali, dengan Indeks Harga Konsumen hanya naik dari 107,92 pada November 2024 menjadi 109,15 pada November 2025.
Komoditas pangan seperti cabai merah, bawang merah, dan beras tetap menjadi pendorong utama, tetapi menariknya, dampak kenaikannya tidak meluas ke komoditas lain secara agresif. Kelompok makanan, minuman, dan tembakau tumbuh 3,94 persen dan menyumbang 1,31 persen poin terhadap inflasi total. Artinya, tanpa kelompok ini, Lampung hampir tidak mengalami inflasi.
Tetapi di sisi lain, Lampung berhasil menahan lonjakan harga lebih jauh melalui beberapa perbaikan pasokan hortikultura, stabilisasi stok beras, serta deflasi pada komoditas tertentu seperti bawang putih dan tomat yang mengimbangi laju kenaikan. Di banyak provinsi, kenaikan cabai dan bawang kerap berujung pada lonjakan inflasi, tetapi Lampung tampaknya cukup berhasil memutus transmisi harga tersebut ke komoditas substitusi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Aspek menarik lainnya adalah deflasi di kelompok perlengkapan rumah tangga (-0,30 persen) dan informasi komunikasi (-0,47 persen) yang menunjukkan dua hal. Pertama, penurunan harga peralatan rumah tangga karena pelemahan permintaan. Kedua, penurunan harga telepon seluler dan perangkat digital akibat tekanan pasar. Keduanya menyumbang deflasi kecil namun strategis, mengurangi dampak inflasi pangan pada rumah tangga kelas menengah.
Deflasi Ekstrem di Kelompok Pendidikan
Namun faktor terbesar yang menahan inflasi Lampung adalah anomali di kelompok pendidikan, yang mengalami deflasi ekstrem -17,98 persen dan menyumbang -1,21 persen poin terhadap inflasi total. Tanpa faktor ini, inflasi Lampung sejatinya berada di kisaran 2,3–2,5 persen, jauh lebih mendekati pola nasional. Artinya, stabilitas inflasi tahun ini lebih merupakan hasil perubahan harga di sektor pendidikan ketimbang semata-mata keberhasilan mengendalikan pangan. Penurunan ini bisa berasal dari kebijakan penghapusan uang komite atau penyesuaian sistem pembayaran.
Di luar komoditas, Lampung juga terhindar dari gangguan besar di sektor energi dan transportasi. Kelompok perumahan, air, listrik, dan bahan bakar rumah tangga hanya tumbuh 1,64 persen, dengan kontribusi 0,21 persen poin.
Sementara transportasi tumbuh 1,35 persen, dengan pendorong utama harga kendaraan, bukan tarif angkutan publik. Ini menunjukkan bahwa tidak ada badai shock harga BBM atau tarif, berbeda dengan momen 2022–2023 yang mengguncang banyak daerah.
Sisi lain yang menarik adalah inflasi perawatan pribadi dan jasa lainnya yang melonjak 8,37 persen dengan kontribusi tinggi mencapai 0,53 persen poin.
Ini mencerminkan fenomena pemulihan konsumsi pascapandemi hingga menjadi motor baru konsumsi rumah tangga urban. Dengan kata lain, Lampung mulai mengalami shifting consumption pattern, dari sekadar pemenuhan kebutuhan dasar menuju konsumsi discretionary.
Jika digabungkan, struktur inflasi Lampung November 2025 mengirimkan tiga sinyal penting. Pertama, manajemen pangan membaik, tetapi rentan terhadap komoditas sensitif seperti cabai merah yang menyumbang 0,45 persen poin sendirian. Kedua, stabilitas harga di energi, transportasi, dan perumahan menunjukkan mitigasi kebijakan cukup efektif. Ketiga, deflasi pendidikan adalah outlier yang secara statistik membuat inflasi tampak hiper stabil, dan ini tidak dapat dipertahankan tanpa instrumen fiskal.
Karena itu, narasi “inflasi rendah sebagai bukti keberhasilan kebijakan”, meski sistem pengendali berjalan baik, harus dibaca dengan hati-hati. Lampung terbukti berhasil menahan gejolak, tetapi fondasinya harus tetap kokoh. Ketergantungan pada komoditas pangan tertentu, serta ketiadaan shock tarif energi, sangat menentukan. Tanpa keduanya, angka akan berbeda.
Langkah ke depan harus mencakup reformasi rantai pasok pangan, bukan sekadar operasi pasar. Cabai, bawang, dan ayam adalah komoditas dengan volatilitas ekstrem, dan Lampung selalu berada di posisi rentan karena sebagian besar produksi tidak diarahkan untuk stabilitas domestik.
Selain itu, pemerintah harus mencermati pemulihan konsumsi kelas menengah yang mulai mendorong inflasi di “non-essentials”. Ini bukan buruk, tetapi menandakan bahwa kapasitas ekonomi rumah tangga mulai pulih, dan bisa menggerakkan pertumbuhan.
Inflasi yang terkendali adalah kabar baik, tetapi Lampung sebaiknya tidak terbuai oleh angka 1,14 persen. Tahun 2026 bisa menjadi tahun ketika normalisasi harga energi, pemulihan pendidikan, serta volatilitas pangan kembali bekerja penuh. Jika saat ini Lampung merasa aman, itu bukan karena badai telah berlalu, melainkan karena angin kebetulan sedang tenang. Ingat, sistem pengendali mesti terus diperkuat.
Lampung jangan lengah!








