Lampung (Netizenku.com): Di perdagangan pasar spot akhir pekan ini, Jumat (26/10/2018), nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ditutup melemah.
Pergerakan rupiah tidak terlalu dinamis dan hampir sepanjang hari terjebak di zona merah.
Pada Jumat sore, US$ 1 ditutup di Rp 15.215. Rupiah melemah 0,2% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Saat pembukaan pasar, rupiah stagnan di Rp 15.185/US$. Namun selanjutnya, rupiah terus terdepresiasi dan depresiasinya kian tajam.
Posisi terlemah rupiah hari ini ada di Rp 15.215/US$, sementara terkuatnya adalah Rp 15.184/US$.
Tidak hanya rupiah, mayoritas mata uang utama Asia pun melemah di hadapan dolar AS.
Pelemahan paling tajam dialami oleh baht Thailand, disusul won Korea Selatan dan rupiah di posisi ketiga terbawah.
Faktor Eksternal dan Domestik Dukung Dolar AS
Dolar AS memang tengah di atas angin. Faktor eksternal dan internal mendukung penguatan dolar secara global, termasuk di Asia.
Dari sisi eksternal, risiko tengah menggelayuti pasar keuangan dunia.
Presiden Bank Sentral Uni Eropa (ECB) Mario Draghi, menyatakan ekonomi Benua Biru terancam terganggu karena tiga risiko besar yaitu Brexit, fiskal Italia, dan perang dagang.
\”Risiko terhadap pertumbuhan ekonomi Zona Euro masih cukup seimbang. Namun pada saat yang sama, ada risiko akibat proteksionisme dan volatilitas pasar yang tetap besar,\” kata Draghi, dalam konferensi pers usai pengumuman suku bunga acuan, dikutip dari Reuters.
Untuk kuartal III-2018, ECB memperkirakan pertumbuhan ekonomi Zona Euro di angka 2,2%, melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu 2,4%.
Pertumbuhan ekonomi diperkirakan kembali melambat ke 2% pada kuartal IV-2018.
Sementara dari sisi domestik, investor tengah menantikan rilis data pembacaan pendahuluan (advance reading) pertumbuhan ekonomi kuartal III-2018.
The Federal Reserve/The Fed Atlanta memperkirakan ekonomi AS tumbuh 3,6% secara kuartalan yang disetahunkan (quarterly annualized). Melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang mencapai 4,2%.
Meski melambat, tetapi pasar melihat performa ekonomi AS masih lebih baik ketimbang negara-negara maju lainnya seperti Eropa atau Jepang.
Oleh karena itu, investor tetap memperkirakan The Fed akan menaikkan suku bunga acuan pada Desember.
Mengutip CME Fedwatch, probabilitas kenaikan Federal Funds Rate sebesar 25 basis poin (bps) dalam rapat 19 Desember adalah 70,3%.
Angka ini bisa meningkat apabila realisasi angka pertumbuhan ekonomi AS lebih baik dari ekspektasi.
Oleh karena itu, pelaku pasar tetap berpihak kepada dolar AS. Kala suku bunga acuan naik, maka imbalan investasi terutama untuk instrumen berpendapatan tetap akan ikut terkerek.
Berinvestasi di AS tentu bakal semakin menarik sehingga meningkatkan kebutuhan terhadap greenback. Kenaikan permintaan dolar AS tentu akan membuat mata uang ini semakin mahal alias menguat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(cnbci/lan)