Malam berisik. Di sebuah sudut resto kami melingkari meja. Ketika para jurnalis berkumpul ceritanya mudah diterka. Senggol sana-sini. Di antara kami turut nimbrung seorang tokoh pemuda di Lampung. Kepadanya-lah obrolan berpusar.
ADA banyak tema perbincangan yang bergulir. Mulai dari pergunjingan seputar Gus Miftah yang mundur (atau dipaksa mundur) sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan. Berawal dari kata goblok yang meluncur dari mulutnya dan menyasar penjaja es teh manis. Videonya viral.
Dalam sekejap netizen Indonesia yang dikenal beringas seantero jagat, malah balik menghujat Miftah. Penceramah ini dianggap “bermulut kotor”. Tak kurang Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, turut menyoroti. Bahkan akun official Manchester United, salah satu klub sepakbola ternama di Inggris dan memiliki banyak penggemar fanatik di Indonesia, ikut mengunggah statemen yang disinyalir terkait kasus Miftah.
Dalam postingannya akun klub sepakbola berjuluk The Red Devils atau Setan Merah tersebut menulis: “Menjunjung es teh maupun menjunjung trofi, keduanya sama-sama mulia”. Jlebbb…!
Seorang jurnalis menukas, kalau problemnya tersebab lontaran kasar, ada banyak video lama yang belakangan muncul dan memperlihatkan betapa akrabnya Miftah dengan selorohan semacam itu. Lantas kenapa baru sekarang menjadi persoalan besar dan tak termaafkan?
Dalam satu tarikan napas pertanyaan itu mudah dijawab, penyebabnya lantaran Miftah menyandang status pejabat negara. Publik yang merasa berkontribusi menggaji Miftah, lewat pajak yang mereka bayar, tidak sudi mengupah orang yang demen bertutur kata serampangan. Titik! Intinya, pandai-pandai memantaskan diri.
Mendengar lalu lintas perbincangan yang selebor serempet sana-sini, si tokoh pemuda hanya menimpali dengan seulas senyum. Senyum khas pemuda yang pernah dilihat warga Kota Bandarlampung di banner-banner jelang gelaran pemilihan walikota kemarin.
Sampai kemudian obrolan menggelinding menyinggung sepak terjang politikus. Sebagai representasi pemuda, dia mengaku prihatin kalau tidak mau disebut kecewa. Keprihatinannya dipicu oleh syahwat politik para politisi bau kencur yang tanpa kapasitas tapi sudah kebelet kepingin berada di pucuk-pucuk kelembagaan legislator.
Padahal hampir bisa dipastikan mereka miskin pengalaman dan fakir gagasan. Lantas apa yang bisa diharapkan dari “anak-anak mami” yang cuma mengandalkan kapasitas dan kekayaan orang tuanya belaka itu.
Tak heran kalau kemudian politisi-politisi semacam ini tak memiliki kepekaan terhadap kondisi sosial dan kering kerontang akan empati pada nasib orang banyak yang tidak beruntung. Politisi semacam ini kiranya tergolong pula selaku orang yang gagal memantaskan diri.
Fenomena politisi pepesan kosong serupa itu marak berlangsung di Lampung. Setidaknya ada tiga nama yang masuk radar dalam diskusi malam itu. Mereka disokong logistik memadai dari saku papi-maminya. Tak pelak bukan perkara sulit untuk melenggang ke kancah politik nasional.
Si tokoh pemuda itu berujar, kalau dari Lampung “mengirim” 3 politisi berstereotipe serupa itu dan fenomena sama juga terjadi pada provinis-provinsi lain, maka bisa tergambar bagaimana mereka akan memenuhi gedung perwakilan rakyat. Kemudian mudah pula diterka bagaimana kualitas lembaga legislatif kita. Menyedihkan sekaligus membikin jengkel.
Kalau kondisinya demikian, apakah tak ada lagi stok pemuda cerdas di Lampung yang mampu berkontribusi bagi peradaban politik kita? Ada, sahut si tokoh pemuda. Tapi mereka hanya bisa berkiprah sebatas tenaga ahli (TA) dari politisi-politisi tajir tadi. Mereka hanya menjadi orang bayaran yang tidak leluasa ikut menentukan warna politik. Mereka hanya bicara bila ditanya. Menganalisa kalau diminta. Selebihnya, duduk manut menunggu perintah. Tak ubahnya orang suruhan.
Jelas ini malapetaka. Betapa suramnya nasib negeri ini. Apakah sudah tanpa harapan lagi buat punya maruah sebagai bangsa yang berkeadilan sosial?
Ada, jawab si tokoh pemuda. Karena arus utama saat ini sangat pragmatis dan oportunis, maka orang-orang beradab dan berakhlak mesti menghanyutkan diri di arus gelombang itu. Tentu, publik yang mencermati rekam jejak orang baik ini, bakal menebar gunjing. Menganggap dia sudah terseret arus. Pengkhianat!
Tapi jauh di lubuk hati orang itu tetap terjaga spirit Robin Hood. Tokoh yang melegenda sebagai perampok harta bangsawan dan membagikan hasil jarahannya ke rakyat jelata nan miskin.
Kalau ada banyak orang semacam ini yang menyelusup ke jajaran politisi dengan menunggangi para oligarki, lalu memanipulasi keadaan serta melakukan cipta kondisi, hingga kemudian ketika tiba waktunya baru menunjukkan jati diri sesungguhnya untuk menyelamatkan maruah perpolitikan daerah dan nasional. Barulah ada kemungkinan bangsa ini terselamatkan.
“Kita semua berharap muncul para pengkhianat yang berkhianat semacam itu,” timpal si tokoh pemuda dengan nada bergetar. (*)