Hasil survei Dewan Pers, Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) Lampung pada tahun 2023 hanya bernilai 69,76 persen. Maknanya, kemerdekaan pers di bawah rezim pemerintahan Gubernur Arinal Djunaidi masih terkategori “Cukup Bebas”. Lumayan, ya?
(NETIZENKU.Com): NANTI dulu. Dengan rapor tersebut peringkat IKP Lampung secara nasional berada pada urutan 32. Nah, lho. Di era reformasi dan demokratisasi seperti sekarang ini ternyata nilai keterbukaan informasinya masih terkategori “cukup”. Sekarang tetap masih mau bilang lumayan?
Mirisnya lagi, dibanding tahun 2022, nilai IKP Lampung melorot 10 poin. Kendati angkanya terkesan kecil, konsekuensinya berdampak signifikan pada pemeringkatan. Lihat saja, pada tahun 2022 IKP Lampung (79,20) secara nasional bertengger diposisi 18, cukup selang setahun, posisinya langsung melorot terjun bebas menjadi urutan ketiga terbawah se-Indonesia. Kok bisa menukik setajam itu?
Informasi ini diperoleh penulis ketika diminta Dewan Pers untuk menjadi salah satu informan ahli pada survei IKP Lampung, Kamis (11 Juli 2024). Dalam focus group discussion (FGD) yang digelar, Dewan Pers menyebutkan, penghimpunan penilaian IKP Lampung disusun berdasarkan survei terhadap beberapa indikator. Di antaranya indikator yang menggambarkan kondisi lingkungan fisik politik, kondisi lingkungan ekonomi dan kondisi lingkungan hukum. Racikan data-data itulah yang menghasilkan penilaian akhir.
Lantas apa hubungan antara IKP Lampung yang jeblok dengan pemerintahan rezim Gubernur Arinal Djunaidi? Jelas sangat erat kaitannya. Karena ini menyangkut seberapa besar para jurnalis dapat mengakses informasi dari kalangan pejabat publik. Seberapa besar tekanan yang dihadapi para jurnalis saat menjalani profesinya. Adakah intimidasi atau pelarangan peliputan.
Dari beberapa indikator itu saja mestinya kita sudah bisa menarik benang merahnya. Tak perlu jauh-jauh menelaah bagaimana sikap para pejabat di setiap kedinasan terhadap jurnalis yang hendak memperoleh informasi publik.
Dengan menengok sikap kepala daerahnya yang kental dengan nuansa pola kepemimpinan paternalistik, kita bisa dengan mudah memahami mengapa nasib IKP di Lampung bisa mirip gerakan undur-undur yang jalan tapi ke belakang. Ditambah lagi dengan sikap kepala daerah yang cenderung berjarak dengan jurnalis, kian mempersulit kerja-kerja pers dalam menggali informasi publik.
Tak heran bila kemudian bawahan gubernur, yang notabene pejabat publik, menunjukkan perilaku sebelas dua belas dengan menutup kencang keran informasi. Benar, sekencang-kencangnya keran ditutup, masih terbuka celah keluar informasi. Hanya saja informasi yang leluasa dibuka cenderung bersifat seremonial. Sementara informasi krusial yang menyangkut kinerja pengelolaan anggaran publik justru dibekap erat.
Tak heran bila kemudian publik tidak memperoleh informasi mendalam tentang mengapa banyak jalan provinsi yang rusak berat tanpa ada upaya perbaikan, sebelum akhirnya tiktoker Bima membuka ‘aib’ itu melalui media sosialnya, dan setelah direspon Presiden Jokowi yang berkunjung ke Lampung sambil menggelontorkan Rp 800 miliar untuk memberesi sebagian persoalan infrastruktur buruk tersebut.
Ironisnya, kendati diperlakukan demikian, posisi pers seakan tak berkutik. Walau kemudian bisa dipahami hal itu terjadi lantaran perusahaan pers terpasung oleh keberadaan kontrak kerjasama pemberitaan dengan pemerintah daerah.
Satu sisi pers ingin menjalankan kerja-kerja jurnalistik secara independen. Sisi lain perusahaan tempatnya bekerja tersandera oleh kerjasama pemberitaan dengan pemerintah. Mudah ditebak mengapa akhirnya wajah kemerdekaan pers tampak buruk saat bercermin pada IKP yang dirilis Dewan Pers. (* Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia [AMSI] Wilayah Lampung)