Bandarlampung (Netizenku.com): Federasi Serikat Buruh Karya Utama (FSBKU) Lampung kecewa dengan upah minimum provinsi (UMP) yang hanya naik 0,35 persen untuk tahun 2022.
Menurut Ketua FSBKU Lampung, Tri Susilo, pihaknya akan melakukan konsolidasi terhadap serikat buruh lain guna membangun upaya dalam memperjuangkan hak pekerja dan buruh.
“Kalau kecewa, kami jelas kecewa. Ini tidak sampai 1 persen, setengah persen pun tidak. Kami akan konsolidasi dengan kawan-kawan buruh. Karena ada hak yang harus diperjuangkan,” ujar Tri Susilo saat dimintai keterangan pada Selasa (23/11).
Dia juga sangat menyayangkan keputusan pemprov tersebut, hal itu dinilai sangat menyakiti hati para pekerja dan buruh di Lampung. Ia pun dengan kalimat menohok berujar bahwa kenaikkan UMP yang hanya Rp8.484,61, tak lebih mahal dari celana dalam.
“Mau tidak mau, suka tidak suka, keputusan tersebut harus diterima. Namun perjuangan kami untuk menuntut hak tak berhenti di sini. Kenaikkan tersebut tak lebih mahal dari harga sempak,” tegas dia.
Diketahui, FSBKU pernah melakukan audiensi dengan Pemprov Lampung membahas soal UMP. Dalam pertemuan tersebut, FSBKU meminta kenaikkan 10 sampai 15 persen, di angka Rp200 ribuan.
Sebelumnya diberitakan, Pemprov Lampung menetapkan upah minimum UMP Lampung 2022 naik 0,35 persen atau naik Rp8.484,61.
Ketetapan itu berdasarkan Surat Keputusan (SK) Gubernur Nomor G/634/V.08/HK/2021 tanggal 19 November 2021 tentang UMP Lampung 2022.
Kenaikan itu menjadikan upah yang diterima pekerja mulai Januari tahun depan sebesar Rp2.440.486,18 dari Rp2.432.001,57 pada 2021.
“UMP diresmikan sesuai formula yang ditentukan melalui rapat Dewan Pengupahan Lampung. Angka ini sesuai Undang-undang 11/2020 tentang Cipta Kerja, PP 36/2021 tentang Pengupahan,” kata Kepala Dinas Tenaga Kerja Lampung, Agus Nompitu, Senin (22/11).
Menurut dia, kenaikan tersebut telah pertimbangan kondisi makro ekonomi daerah dan nasional serta kondisi ketenagakerjaan di daerah.
“UMP sesuai SE Mendagri terdapat formula. Nilainya juga dipertimbangkan agar tidak terjadi kesenjangan antardaerah. Semua tergantung kondisi makro ekonomi masing-masing daerah,” pungkasnya.(Agis)